KH A HAITI
Almarhum Kiai Haji Achmad Haiti adalah
salah satu sosok ulama yang konsistven mengabdikan hidupnya untuk kegiatan
dakwah dan mengajarkan pendidikan agama Islam kepada para "santrinya"
di masjid dan mushalla di sekitar tempat tinggalnya. Bahkan beliau rela meninggalkan berbagai
"kenikmatan" duniawi dan memilih menghabiskan hari-hari panjangnya
untuk mengurus masjid. Bapak 10 anak (dua orang telah meninggal saat masih
berusia muda) dan salah satunya sukses menjabat di Kepolisian Republik
Indonesia, yakni Wakapolri Komjen (Pol) Badrodin Haiti, dikenal sebagai seorang
ayah yang teguh pada pendirian. Beliau sudah menggariskan ketetapan, bahwa
seluruh anaknya harus bersekolah di lembaga pendidikan Islam atau pesantren,
baru setelah lulus SMA, Badrodin Haiti melanjutkan ke pendidikan umum dan
diterima di AKABRI Kepolisian tahun 1978.
Sedang saudara lainnya banyak yang menjadi guru -PNS. Hasil rintisan dan
perjuangan beliau, kini berdiri Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Paleran
dengan berbagai amal usahanya. Diantara AUM yang berdiri berupa TK ABA, SD, SMP
dan SMK Muhammadiyah, sejumlah masjid/mushalla, serta beberapa bidang tanah
waqaf yang dikelola Muhammadiyah. Musuh PKI Perjalanan dakwah Kiai Achmad Haiti
tidaklah mudah, penuh tantangan dan hambatan. Karena itu wajar, kalau beliau
sering berpindah tempat tinggal, mencari masjid dan mushalla yang bisa dipakai
untuk berdakwah dan terutama untuk mengajar ngaji. Salah satu "musuh"
beliau dalam berdakwah adalah para tokoh aktivis partai komunis (PKI) di
wilayah Paleran dan sekitarnya. Untuk menghalang-halangi langkah dakwah Kiai
Achmad Haiti, anggota PKI tak segan- segan melakukan tindakan licik dan tidak
pantas. "Bapak terpaksa mengalah dan memindahkan kegiatan dakwahnya ke
masjid kampung sebelah, setelah masjid yang dipakai ngaji tempat wudhunya
diberi (maaf) kotoran manusia oleh anggota PKI," ujarnya. Selanjutnya,
Achmad Haiti menempati sebuah masjid di timur sungai, Karang Genteng. Justru di
Masjid "Darun Najah" ini kegiatan pengajian dan madrasah yang
didirikannya berkembang pesat. Santrinya cukup banyak, bahkan Achmad Haiti
menjadi Kiai Masjid dan tokoh masyarakat yang cukup disegani. Hampir seluruh
kegiatan keagamaan di masjid dan juga di kampung, selalu dipimpin oleh Sang
Kiai. "Beliau dianggap Kiai Keramat yang sangat disegani," lanjut
Lukman. Tentunya, faham keagamaan yang dianut Kiai Achmad Haiti, seperti
umumnya kiai salaf yang memimpin masjid di kampung- kampung di tanah air. Selain
ngaji kitab- kitab klasik, juga memimpin doa tahlil, memimpin manaqib, dan
kegiatan keagamaan pada umumnya. Orientasi keagamaan Kiai Achmad Haiti berubah
sedikit demi sedikit setelah beliau aktif dalam Partai Masyumi. Kekagumannya
pada sosok M. Natsir, membuat Kiai Haiti, mengkaji ulang pemahamannya terhadap
kitab-kitab klasik yang lama dipelajarinya dan membandingkan dengan isi
kandungan al Qur'an. Beliau kemudian memberanikan diri mengubah kebiasaannya
saat membacakan khutbah Jumat di masjid. Kalau biasanya beliau khutbah dengan
membawa tongkat, saat itu beliau mencoba untuk tidak memakai tongkat. "Bahkan,
beliau juga tidak membaca teks khutbah berbahasa Arab, yang biasa dibaca oleh
para khotib saat naik mimbar," tutur Lukman. Kontan, cara berkhutbah Kiai
Haiti yang diluar kebiasaan itu, mendapat reaksi keras jamaah Jumat yang
memenuhi masjid. "Sejak saat itu, beliau tidak lagi diperkenankan menjadi
khotib Jumat. Meski masih tetap shalat di masjid tersebut, bapak lebih memilih
menjadi makmum dan meninggalkan kebiasaannya sebagai imam shalat, karena jamaah
sudah tidak menghendaki beliau menjadi imam," jelasnya. Kewibawaan beliau
sebagai Kiai Masjid, dengan sendirinya memudar. Kiai Achmad Haiti dengan sabar
dan lapang dada, menanggalkan setumpuk gelar dan kehormatan yang sebelumnya
disematkan kepadanya. Bahkan, menurut Lukman, pada puncaknya Kiai Achmad Haiti,
kembali pindah tempat tinggal, karena sudah tidak nyaman berada di lingkungan
masyarakat yang berbalik memusuhinya. Di tempat yang baru, di Dusun Krajan
Kulon, Karang Genteng, Kiai Achmad Haiti tidak surut untuk tetap berdakwah. Justru
di tempat baru ini, beliau semakin terang- terangan menyebut dirinya anggota
Persyarikatan Muhammadiyah. Dan untuk pertama kalinya, pada tahun 1971, beliau
merintis pelaksanaan Sholat Idul Fitri di lapangan desa setempat. "Saat
pertama kali diadakan, jamaah sholat Idul Fitri hanya 12 orang, terutama dari
keluarga sendiri dan beliau yang menjadi imam sekaligus khotibnya,"
jelasnya. Dari sinilah cikal bakal Muhammadiyah di Paleran berdiri. Setelah
cukup lama menjadi ranting Muhammadiyah Kecamatan Bangsalsari, pada tahun 2000
lalu, Paleran yang hanya sebuah desa, bisa berdiri Cabang Muhammadiyah, hingga
menjadi PCM bdiantara 22 PCM lainnya di kabupaten Jember. Semoga beliau
khusnul khotimah. Amin.
No comments:
Post a Comment