Allahpun ridho....
.
Suatu waktu, Rasulullah SAW kedatangan tamu
orang yang sangat tidak mampu (miskin), Rasulullah mengajak tamu
tersebut ke rumah salah seorang istri beliau agar bisa dijamu
selayaknya. Namun, istri Rasulullah hanya memiliki air putih dan tidak
bisa menghidangkan makanan yang lain.
Rasulullah SAW kemudian membawa
tamunya kepada para sahabatnya, seraya menawarkan, “Siapa saja yang
memuliakan tamuku ini, akan mendapat surga.” Salah seorang sahabat yang
bernama Abu Thalhah spontan menjawab, “Saya Rasulullah!”
Ia belum sempat
berpikir, apakah di rumah ada makanan atau tidak? Yang terpenting, dia
bisa menolong orang lain dan mendapatkan surga sebagaimana ditawarkan
Rasulullah SAW.
Selanjutnya, tamu Rasulullah itu pun diajak ke rumahnya.
Sampai di rumah, ia berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu
Rasulullah ini!” Istrinya menjawab, “Kita tidak punya persediaan
makanan, kecuali untuk si kecil anak kita!”
Tanpa berpikir panjang, Abu
Thalhah langsung mengutarakan idenya, “Siapkan makanan itu, lalu
pura-puralah memperbaiki lampu penerang yang ada di rumah, dan
tidurkanlah anak kita!” Ketika hari sudah gelap, tamu Rasulullah itu
diajak ke tempat makan.
Istri Abu Thalhah sibuk mempersiapkan hidangan
seakan-akan untuk seluruh anggota keluarganya ditambah tamu
Rasulullah.
Setelah makanan dihidangkan, istri sahabat itu mendekati
lampu penerang rumahnya, berpura-pura memperbaikinya, dan kemudian
memadamkannya.
Tujuannya tidak lain, agar sang tamu merasa nyaman
menikmati hidangan itu sendirian. Sebab, porsi makanan yang ada hanya
cukup untuk satu orang.
Tamu itu menikmati hidangan yang ada dengan
lahap, tanpa merasa ada yang janggal dalam jamuan makan malam itu. Dia
mengira tuan rumah juga ikut makan bersamanya.
Keesokan harinya, Abu
Thalhah menghadap Rasulullah SAW, ia disambut dengan senyuman, lalu
beliau bersabda, “Allah tertawa (rida) dengan yang kalian lakukan berdua
tadi malam.”
Hasilnya, Rasulullah rida dengan simbol berupa senyuman
ketika bertemu Abu Thalhah, dan menyampaikan kabar gembira bahwa Allah
pun rida dengan apa yang mereka berdua lakukan.
Setidaknya ada tiga
hikmah yang bisa kita petik dari kisah yang menjadi sebab turunnya Surah
al-Hasyr ayat 9 ini.
Pertama, betapa Rasulullah SAW dan Abu Thalhah
sahabatnya memiliki jiwa penolong yang sangat mengagumkan sehingga
dengan jiwa tersebut, keduanya tidak sempat berpikir apakah di rumahnya
ada makanan yang bisa disuguhkan pada tamunya atau tidak? Yang penting
memberi!
Kedua, ketika kedermawanan sudah mendarah daging dalam diri
seseorang, berbagai cara bisa ia lakukan untuk tetap bisa memberi kepada
orang lain, betapapun sulitnya kondisi yang sedang ia alami.
Ketiga,
orang yang dermawan tidak pernah memikirkan tentang dirinya saat hendak
memberi, apa yang akan ia makan? Bagaimana nasibnya nanti ketika ia
memberi apa yang dibutuhkannya kepada orang lain?
Bahkan, orang yang
dermawan mungkin saja menomorduakan kebutuhan keluarganya ketika ada
orang yang lebih membutuhkan.
Maka pantas jika kemudian orang yang
memiliki jiwa seperti ini akan mendapat rida Allah SWT. Dan di akhirat
akan dimasukkan ke surga-Nya. Sebab, orang yang seperti ini lebih
mengutamakan orang lain, atas diri mereka sendiri.
Sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS.
Al-Hasyr [59]: 9).
No comments:
Post a Comment