KH Ahmad Dahlan
(Ketua Muhammadiyah 1912 -
1922)
Andai saja pada tahun 1868 tidak lahir seorang bayi bernama Muhammad
Darwisy (ada literatur yang menulis nama Darwisy saja), Kampung Kauman di
sebelah barat Alun-alun Utara Yogyakarta itu boleh dibilang tak memiliki keistimewaan
lain, selain sebagai sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta.
Sejarah kemudian mencatat lain, dan Kauman pada akhirnya menjadi sebuah nama
besar sebagai kampung kelahiran seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Indonesia, Kiai Haji Ahmad Dahlan: Sang Penggagas lahirnya Persyarikatan
Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan 18 November
1912.
Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang tua yang dikenal sangat
alim, yaitu KH. Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan
Nyai Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu Yogyakarta). Muhammad Darwisy
merupakan anak keempat dari tujuh saudara yang lima diantaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya. Tak ada yang menampik silsilah Muhammad Darwisy sebagai keturunan
keduabelas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka
diantara Wali Songo, serta dikenal pula sebagai pelopor pertama penyebaran dan
pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Demikian matarantai
silsilah itu: Muhammad Darwisy adalah putra K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad
Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo
bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom)
bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana
Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Muhammad Darwisy dididik dalam
lingkungan pesantren sejak kecil, dan sekaligus menjadi tempatnya menimba
pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15
tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di
Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha,
dan Ibnu Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang
besar pada Darwis. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran
pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama,
yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih
bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran
Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena
itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan
gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur’an
dan al-Hadis.
Pada usia 20 tahun (1888), ia
kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji Ahmad Dahlan (suatu kebiasaan
dari orang-orang Indonesia yang pulang haji, selalu mendapat nama baru sebagai
pengganti nama kecilnya). Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi Khatib
Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia
menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam
ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya
sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya
dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah,
Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan
Safwan, 1991). Di samping itu, K.H. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga
pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Ajengan
Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai
Yasin, Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).
Ahmad Dahlan adalah seorang
yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Ada sebuah nasehat yang
ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri:
“Wahai Dahlan, sungguh di
depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau,
yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan
selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba
engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah,
sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan
dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan
tinggalkanlah lainnya
(diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).
Dari pesan itu tersirat sebuah semangat dan
keyakinan yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan
akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal
untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan
dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan
membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan
demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus
mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus
diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang
sistematis dan kolektif.
Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan
sangat merasakan kemunduran ummat Islam di tanah air. Hal ini merisaukan
hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan
memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan
seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara
seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.
Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat
manusia) tersebut, Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama
melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan
cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran
akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia.
Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan
memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik
para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para
calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia
sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di
kedua sekolah tersebut.
Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut
diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka
akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian
juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat
proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan
mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah
guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah)
dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan
mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya
tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai
pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Di samping itu, ia juga
dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik
yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala
di masyarakat
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai
gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di
tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di
organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela
Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara.
Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal
menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk
kembali hidup menurut tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri
pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa
Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di
bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan
ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat
sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi
kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam.
Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang
Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak
membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar.
Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam
di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan
hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya
dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah
lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri
Cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka K.H. Ahmad Dahlan menyiasatinya
dengan menganjurkan agar Cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama
lain, misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut
dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari Cabang Muhammadiyah
Di dalam kota Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan
menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan
menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini
mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul
Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul
Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba,
Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul
Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan
Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke
berbagai kota,
di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang
besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai
daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap
Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh
Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin
delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini
diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk
konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan
Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan
Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks
dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang
telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di
luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan
tafsir Qur’an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan
terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan
argumentasi: “Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari
keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para
ulama dari pada Qur’an dan Hadis. Umat Islam harus kembali kepada Qur’an dan
Hadis. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui
kitab-kitab tafsir”
Sebagai seorang demokrat dalam melaksanakan
aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan memfasilitasi para anggota
Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam
Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah,
telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun),
yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).
Atas jasa-jasa K.H.
Ahmad Dahlan dalam mem-bangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan
Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai
Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.
Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
1.
K.H. Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan ummat Islam untuk
menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan
berbuat.
2. Dengan organisasi
Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni
kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.
3. Dengan organisasinya,
Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat
diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
4. Dengan organisasinya,
Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita
Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum
pria
Sumber :
http://www.muhammadiyah.or.id/id/1-content-156-det-kh-ahmad-dahlan.html
No comments:
Post a Comment