Ada Apa dengan Rohingya
Rohingya.
Beberapa dari kita mungkin pernah mendengar kata tersebut. Entah melalui facebook,
twitter, obrolan teman, berita-berita di TV, koran atau dari berbagai media
lainnya Meskipun begitu, tetap saja kata ini masih terdengar samar, asing. Dengan
data yang cenderung berbeda, pembahasan media yang ragam rupanya, kita peroleh
pula persepsi yang berbeda-beda. Seolah tertutupi dengan kasus lain, sekali
lagi, manusia mengesampingkan kemanusiaan.
* * *
Kronologi
Apa yang
terlintas di benak Anda saat mendengar kata Rohingya? Sebuah nama tempat? Atau
seperti suatu suku? Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa “Rohingya” adalah
istilah yang dipakai untuk menyatakan bahasa yang digunakan orang-orang
yang tinggal di daerah Arakan (Rakhine/Rohang), Myanmar. Adanya kemiripan dari
segi fonologi, bahasa Rohingya disinyalir berakar dari bahasa Cittagonian
yang digunakan oleh penduduk Bangladesh. Hal ini berimplikasi pada dugaan
terhadap asal suku penduduk Rohingya; sebagian sumber menyatakan bahwa penduduk
Rohingya adalah penduduk asli Myanmar, sedangkan sebagian lain meyakini
penduduk Rohingya adalah imigran Muslim yang berasal dari Bengal dan tinggal di
Arakan saat masa penjajahan Inggris. Meski begitu, banyak pihak lebih condong
ke pendapat kedua, karena secara linguistik, bahasa Rohingya berhubungan dengan
bahasa yang digunakan orang Indo-Aryan di India dan Bangladesh, sangat berbeda
dengan bahasa asli Myanmar yang berakar Sino-Tibetan.
Eksistensi
penduduk muslim Rohingya di Arakan sebenarnya sudah dimulai sejak abad
kedelapan melalui proses perdagangan yang melibatkan kerjasama dengan penduduk
Arab – menyebabkan keturunan Arab menjadi pelopor komunitas muslim di Myanmar. Sejarah
mencatat bahwa perkembangan pesat penduduk muslim Rohingya terjadi pada rentang
tahun 1891 (total 58.225 orang) hingga tahun 1911 (menjadi total 178.647 orang,
hampir 3 kali lipat. red). Peningkatan pesat tersebut terjadi karena adanya
migrasi massif dari penduduk Chittagong, India, akibat kebijakan upah buruh
rendah yang terjadi di India selama masa kependudukan Inggris. Peningkatan
penduduk tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1927, saat total penduduk
muslim Rohingya mencapai sekitar 480.000 orang.
Sebagaimana
kita tahu, Myanmar adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Buddha. Hal
ini tentu saja menjadikan Arakan sebagai daerah dengan divergensi yang paling
nyata di Myanmar. Meningkatnya jumlah penduduk muslim di Arakan lantas
menjadikan konsentrasi antara kedua penduduk ini (Buddha dan Muslim) menempati
titik dominasi yang sama.
Ketegangan
antara keduanya muncul kala perang dunia kedua. Pergantian kolonialisme oleh
Jepang dan Inggris – menimbulkan kevakuman kekuasaan – berimplikasi pada
ketegangan komunal dari pihak Buddha Rakhine maupun Muslim Rohingya. Inggris
mempersenjatai penduduk muslim Rohingya, sedangkan Jepang mempersenjatai kaum
Buddha Rakhine. Akibatnya, terjadi pembantaian besar-besaran antara kedua belah
pihak, dan menyebabkan 62.000 penduduk muslim Rohingya migrasi ke Bengal dan ke
Cittagong.
Myanmar
merdeka pada tahun 1948. Meski kondisi ketegangan antara kedua belah pihak
masih ada, namun sejak 1962, komunitas Rohingya telah diakui sebagai suatu
etnis asli dari Myanmar, bahkan memiliki perwakilan di parlemen dan di lembaga
tinggi pemerintahan lainnya. Sayangnya, ini tak berlangsung lama. Sejak
pemerintahan militer mengambil alih Myanmar pada tahun 1982, muncullah suatu
peraturan pemerintah yang mendiskriminasi dan mendiskreditkan penduduk
Rohingya. Mereka dicap sebagai “penduduk asing” dan kehilangan kewarganegaraan
mereka.
Junta-junta
militer yang memerintah Myanmar selama hampir setengah dekade, sangat bergantung
pada penduduk Buddha Myanmar dan Buddha Tervadha untuk memperkuat kekuasaannya,
dan mendiskriminasi minoritas; tak hanya muslim Rohingya, namun juga
mendiskriminasi etnis Cina, Kokang, dan Patthay (muslim Cina).
Sejak
2005, UNHCR (United Nation High Comissioner of Refugees) membantu para penduduk
muslim Rohingya untuk melakukan repatriasi ke kamp-kamp pengungsian. Namun,
rencana ini mendapat hambatan karena adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia
di kamp-kamp pengungsian itu sendiri. Belum lagi para penduduk Rohingya yang
mengungsi ke Bangladesh, sekarang mereka mengalami masalah karena jumlah yang
terlalu banyak dan tidak lagi mendapatkan dukungan pemerintah disana.
Konflik
Myanmar 2012
Di
tengah ketegangan politik yang sedang berlangsung, pada tanggal 28 Mei 2012,
seorang wanita Rakhine bernama Ma Thida Htwe dibunuh setelah diperkosa oleh
sekelompok orang pria. Para penduduk lokal mengklaim bahwa pelaku hal tersebut
adalah Muslim Rohingya. Polisi pun menahan para terduga sebanyak 3 orang di
penjara Yanbye. Namun, pada 3 Juni 2012 segerombol orang menyerang sebuah bus
di daerah Tangup yang dikira membawa pelaku perkosaan tersebut. Akibatnya, 10
muslim terbunuh dari penyerangan tersebut yang memancing protes dari Muslim
Myanmar secara keseluruhan.
Sepanjang
Juni 2012, ketegangan antara kedua belah pihak (Muslim Rohingya dan penduduk
Buddha di Rakhine) semakin memuncak. Hal ini berimplikasi pada terjadinya
kekacauan di daerah Rakhine itu sendiri. Keadaan semakin memburuk saat
pemerintah Myanmar menetapkan status darurat bagi daerah Rakhine tanggal 10
Juni 2012, yang mana pemerintah melegalkan pihak militer Myanmar untuk
menggunakan senjata demi mengontrol massa yang dinilai mengganggu nilai-nilai
demokrasi. Meskipun begitu, kekerasan tidak berhenti. Terhitung tanggal
14 Juni, pemerintah Myanmar mengklaim bahwa dalam peristiwa ini, 29 orang tewas
(16 Muslim dan 13 umat Buddha ), diperkirakan 2500 rumah rusak dan 30.000 orang
terpaksa pindah dari rumah mereka.
Dalam
kurun waktu 15-28 Juni, ratusan penduduk Rohingya melewati perbatasan
Bangladesh. Akan tetapi, sebagian besar di antaranya banyak yang harus dipaksa
kembali ke Myanmar. Para penduduk Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh ini
menyatakan bahwa tentara dan polisi Myanmar menembaki sekumpulan penduduk setempat.
Mereka menyatakan bahwa mereka takut untuk kembali ke Myanmar saat Bangladesh
menolak mereka sebagai pengungsi dan meminta mereka untuk kembali ke negaranya.
Pada tanggal 28 Juni, pemerintah Myanmar menyatakan bahwa total kematian pada
kasus ini mencapai 80 orang, sedangkan total penduduk yang terpaksa pindah
mencapai 90.000 orang.
Pemerintah
Myanmar juga menahan 10 orang pekerja dari UNHCR (United Nation High
Comissioner of Refugees) dan menjatuhkan hukuman pada tiga diantaranya karena
dianggap ikut memancing kerusuhan. Antonio Guterres, perwakilan UNHCR, akhirnya
mendatangi Yangon dengan maksud untuk bernegosiasi dengan pemerintah untuk
melepaskan pekerja tersebut. Namun, Presiden Myanmar, Thein Sein, mengatakan
bahwa ia hanya akan mengizinkan pelepasan 10 pekerja tersebut jika PBB mampu
membantu perpindahan 1.000.000 penduduk Muslim Rohingya ke Bangladesh maupun ke
negara lainnya. PBB menolak permintaan Sein tersebut.
Pada
bulan Oktober 2012, kerusuhan antara Muslim dan Buddha Rohingya pecah kembali. Kerusuhan
tersebut bermula di kota Min Bya dan Mrauk Oo, yang kemudian menyebar ke
daerah-daerah lainnya di Rakhine. Tak hanya melibatkan muslim Rohingya, muslim
dari etnis-etnis lain pun melaporkan bahwa mereka juga menjadi target
kekerasan. Pemerintah Myanmar menyatakan bahwa 80 orang terbunuh, dan lebih
dari 4600 rumah terbakar. Hal ini mengakibatkan jumlah penduduk yang terpaksa
harus meninggalkan rumah mereka pun mencapai 100.000 penduduk.
Kasus
ini telah menarik perhatian dunia untuk turut andil dalam membela hak-hak
manusia yang terdiskreditkan, dan turut serta menyoroti tentang apa yang
sebenarnya terjadi. Di awal November, sebuah organisasi bernama “Doctor Without
Borders” melaporkan bahwa di Rakhine banyak tersebar pamflet dan poster yang
mengancam para pekerja kesehatan yang membantu Muslim Rohingya. Hal ini
menyebabkan banyak pekerja lokal yang akhirnya memutuskan untuk berhenti.
Kini
Sejak
kunjungan menteri luar negeri Turki, Ahmet Davotoglu pada Maret lalu, Muhammad
Idris; ketua organisasi penyelamat El-Feyyadi di Myanmar, mengatakan
bahwa PBB maupun Organization of Islamic Cooperation (OIC) kembali menyoroti
kasus Myanmar setelah sebelumnya sempat ‘tertutupi’ oleh kasus-kasus dunia
lainnya. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kunjungan tersebut membuat
pemerintah Myanmar menjadi lebih ‘hati-hati’ dalam bertindak.
Human
Rights Watch sebagai organisasi pemerhati hak-hak asasi manusia di tingkat
internasional juga mengeluarkan laporannya pada 22 April 2013 lalu yang
berjudul “All You Can Do is Pray; Crimes Against Humanity and Ethnic Cleansing
of Rohingya Muslims in Arakan States” sejumlah 153 halaman yang menjelaskan
tentang apa yang terjadi dengan Rohingya sejak 2010 lalu. Human Rights Watch
juga meminta pemerintah Myanmar untuk menghapuskan poin diskriminasi pada
UU kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 dan memastikan anak-anak Rohingya
memiliki status kewarganegaraan yang jelas.
Terakhir, Pemerintah Myanmar menarik "kartu putih" yang merupakan satu-satunya kartu identitas resmi etnis Rohingya. Kartu putih milik orang-orang Rohingya dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret 2015.
Kartu putih adalah kartu identitas yang diberikan bagi orang-orang yang tinggal di Myanmar, tetapi tidak mendapatkan status resmi sebagai penduduk, penduduk asosiasi, penduduk netral, atau warga negara asing. Pemegang kartu putih berarti mereka bukanlah warga negara Myanmar atau warga negara asing.
Bersamaan dengan ditariknya kartu putih, orang-orang Rohingya juga kehilangan hak untuk mengikuti pemilihan umum (pemilu). Sesuai referendum yang diselenggarakan pada 2008, pemegang kartu putih mendapatkan hak pilih dalam pemilu. Pembatalan dari Presiden Thein Sein ini menutup kesempatan orang Rohingya untuk berpartisipasi dalam Pemilu Myanmar 2015.
Kartu putih pertama kali diluncurkan pada 1990-an oleh rezim militer sebelumnya. Pada waktu itu, pemerintah mengganti kartu identitas perserikatan Myanmar (union of Myanmar identity card) dengan kartu registrasi nasional (national registration cards). Beberapa etnis yang tidak diakui pemerintah diberikan kartu putih meski sebelumnya mereka memegang kartu identitas perserikatan Myanmar.
Selain persoalan diskriminasi, faktor ekonomi juga dinilai menjadi penyebab munculnya krisis Rohingya. Menurut Hamid Awaluddin, konflik komunal di Myanmar terjadi karena masalah kemiskinan. Kemiskinan dengan mudah menyulut api kemarahan karena sensitivitas dalam segala hal selalu terjadi (Kompas, 22/8/2012).
Sebelumnya, pada November 2014, Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang mendesak Pemerintah Myanmar untuk mengakui kewarganegaraan Rohingya. Resolusi itu diadopsi secara mufakat pada sidang Komite Hak Asasi Manusia, Majelis Umum PBB, di New York, Amerika Serikat.
Resolusi itu pada intinya menyatakan "keprihatinan mendalam" atas nasib sekitar 800.000 warga Rohingya yang berdiam di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat, dan yang tersingkir ke kamp-kamp pengungsi di Myanmar, Banglades, dan di perbatasan Myanmar-Thailand. PBB mendesak Pemerintah Myanmar di Naypyidaw untuk memberikan status kewarganegaraan bagi etnis minoritas Rohingya.
Selain pembunuhan dan tindak kekejaman yang melukai fisi, kerugian harta dan kehormatan juga dialami Muslim Rohingnya. Massa Budha dilaporkan merampok dan menjarah desa-desa Muslim di Arakan serta memperkosa sejumlah Muslimah di sana. Ribuan Muslim yang ketakutan dengan kekejaman yang terus berlangsung, memilih mengungsi ke Bangladesh. Pejabat imigrasi Bangladesh memperkirakan, saat ini terdapat 300 ribu pengungsi Rohingya. Mereka memilih Bangladesh dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Namun, pengungsian tersebut bukan berarti tanpa masalah. Pekan lalu pihak berwenang Bangladesh memulangkan secara paksa sekitar 2000 orang etnis Rohingya. Selain itu, di daerah pengungsian kondisi para Muslim juga sangat memprihatinkan karena kekurangan makanan dan gangguan kesehatan akibat tempat tinggal yang memprihatinkan. Pekan lalu perahu-perahu Rohingya yang akan mengungsi ke Bangladesh ditembaki, mengakibatkan sebagian penumpang meninggal sebelum berhasil menginjakkan kaki di Bangladesh.
Kekerasan di desa-desa Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine (Arakan) di Burma (Myanmar), meliputi pembunuhan, penjarahan, pembakaran, penangkapan masih berlangsung. Badan-badan internasional, seperti PBB, masih tak berdaya menghadapi sekelompok etnis Buddha yang didukung pasukan gabungan ‘keamanan’ Rakhine. Ribuan Muslim Rohingya telah gugur akibat dibantai oleh etnis Rakhine secara brutal. Puluhan ribu lainnya menjadi tunawisma dan sedang menderita kelaparan dan pengobatan di Arakan.
Media-media Burma yang pro-Rakhine telah menyebarkan propaganda terkait Muslim Rohingya. Mereka menggambarkan bahwa Muslim Rohingya adalah teroris dan yang membunuh serta membakar rumah-rumah etnis Buddha Arakan. Salah satu bukti bahwa orang-orang etnis Rakhine-lah yang melakukan kekerasan adalah bisa dilihat dari pakaian mereka yang memakai pakaian khas Buddhis atau celana pendek. Perlu diketahui bahwa kebanyakan Muslim Rohingnya, mereka biasa memakai sarung selutut, mungkin sangat jarang yang terlihat memakai celana pendek. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa etnis Buddha menyamar berpakaian seperti Muslim Rohingya, buktinya saja, polisi Burma yang menangkapi para pemuda Rohingya yang kemudian disiksa, mereka diperlengkapi senjata untuk diambil gambar mereka dan disebarkan
Ribuan lainnya terpaksa melarikan diri ke negeri tetangga, Bangladesh, untuk menyelamatkan diri mereka. Sejumlah Muslim berhasil sampai ke Bangladesh dan berdiam diri di kamp pengungsian Lada, di selatan Bangladesh, yang dioperasikan oleh LSM Muslim Inggris yang menyediakan pengobatan dan bantuan makanan. Namun karena keterbatasan, kamp pengungsian dibangun dengan seadanya bahkan tidak layak. Tak semua Muslim Rohingya dapat tinggal di kamp pengungsian, disebabkan ribuan dari mereka telah diusir oleh otoritas Bangladesh karena dianggap ilegal. Sementara sejumlah Muslim juga ditahan oleh polisi-polisi perbatasan dan bahkan dihukum dijemur di atas pasir pantai yang panas.
Muslim Rohingya baik yang masih tinggal di Arakan dan sedang mengungsi ke negara tetangga, sedang dalam kondisi kritis, butuh pertolongan segera dari dunia internasional. Hingga kini Muslim Rohingya masih hidup dalam ketakutan.
Kabar pembunuhan, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan serta penangkapan Muslim Rohingya di negara bagian Arakan (Rakhine), Burma (Myanmar) masih terdengar. Kekerasan kejam tersebut dilakukan oleh orang-orang kafir Buddha dan pasukan gabungan tentara Burma. Ribuan jiwa Muslim tak bersalah telah gugur (syahid insya Allah) dalam kekerasan yang memuncak akhir-akhir ini.
Berdasarkan laporan dari forum Ansar Al-Mujahidin, para saksi mata dari keluarga korban yang terus berkomunikasi melalui telepon, memperkirakan bahwa jumlah kematian Muslim di Arakan dapat mencapai 6000 jiwa hingga saat ini (innalillahi wa innailaihi roji’uun). Sementara belum ada media yang dapat merinci jumlah spesifik korban, mengingat media-media saat ini hanya menerima laporan dari warga Rohingya di Arakan yang selamat dan masih bisa berkomunikasi. Menurut saksi, jumlah-jumlah yang selama ini dinyatakan hanya mewakili bahwa benar-benar terjadi pembantaian brutal terhadap Muslim di Arakan.
Selain itu dikatakan bahwa para etnis kafir Buddha telah membunuh ratusan orang Rohingya kemudian melemparkan jasad mereka ke teluk Bengal. Untuk menyembunyikan fakta dan menyebarkan propaganda busuk, para penganut Buddha etnis Rakhine itu menempatkan pakaian-pakaian yang biasa dikenakan warga Buddha kepada Muslim yang meninggal dan mengklaim bahwa mereka adalah jasad orang Buddha yang menjadi korban.
Pasukan gabungan Nasaka dan orang-orang Buddha Rakhine juga menangkapi warga-warga Rohingya dari desa-desa mereka yang dapat memimpin penduduk Muslim, kebanyakan pria dewasa atau para pemuda, dibawa ke tempat yang tidak diketahui dan dikabarkan telah tewas tak terlihat oleh penduduk setempat.
Lebih jauh lagi, karena kebanyakan yang dibunuh adalah Muslim laki-laki, sehingga banyak Muslim tinggal di rumah mereka tanpa perlindungan dari laki-laki, dan banyak Muslimah serta anak-anak yang melarikan diri menuju perbatasan Bangladesh, namun ironisnya pasukan ‘keamanan’ perbatasan Bangladesh mengirim kembali perahu-perahu mereka ke Myanmar, sehingga orang-orang kafir Buddha menenggelamkan perahu-perahu kaum Muslimin dan membunuh para penumpangnya.
Sementara puluhan ribu Muslim Rohingya di kota-kota di Arakan sedang menderita kelaparan karena tidak ada pasokan pangan yang cukup, juga karena toko-toko mereka telah dibakar habis, dan mereka juga menderita karena harus menjadi tunawisma karena rumah-rumah mereka ludes terbakar, hanya tinggal di tempat-tempat pengungsian yang sangat buruk kondisinya.
Terakhir, Pemerintah Myanmar menarik "kartu putih" yang merupakan satu-satunya kartu identitas resmi etnis Rohingya. Kartu putih milik orang-orang Rohingya dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret 2015.
Kartu putih adalah kartu identitas yang diberikan bagi orang-orang yang tinggal di Myanmar, tetapi tidak mendapatkan status resmi sebagai penduduk, penduduk asosiasi, penduduk netral, atau warga negara asing. Pemegang kartu putih berarti mereka bukanlah warga negara Myanmar atau warga negara asing.
Bersamaan dengan ditariknya kartu putih, orang-orang Rohingya juga kehilangan hak untuk mengikuti pemilihan umum (pemilu). Sesuai referendum yang diselenggarakan pada 2008, pemegang kartu putih mendapatkan hak pilih dalam pemilu. Pembatalan dari Presiden Thein Sein ini menutup kesempatan orang Rohingya untuk berpartisipasi dalam Pemilu Myanmar 2015.
Kartu putih pertama kali diluncurkan pada 1990-an oleh rezim militer sebelumnya. Pada waktu itu, pemerintah mengganti kartu identitas perserikatan Myanmar (union of Myanmar identity card) dengan kartu registrasi nasional (national registration cards). Beberapa etnis yang tidak diakui pemerintah diberikan kartu putih meski sebelumnya mereka memegang kartu identitas perserikatan Myanmar.
Selain persoalan diskriminasi, faktor ekonomi juga dinilai menjadi penyebab munculnya krisis Rohingya. Menurut Hamid Awaluddin, konflik komunal di Myanmar terjadi karena masalah kemiskinan. Kemiskinan dengan mudah menyulut api kemarahan karena sensitivitas dalam segala hal selalu terjadi (Kompas, 22/8/2012).
Upaya penyelesaian
Berbagai
upaya penyelesaian terkait krisis Rohingya sebenarnya telah dilakukan
banyak pihak. Malaysia sebagai ketua bergilir ASEAN 2015, misalnya,
mendesak Myanmar untuk bertanggung jawab membuat solusi atas krisis
kemanusiaan yang dihadapi etnis Rohingya. Sebagai bentuk kepedulian atas
krisis dan untuk memberikan tekanan kepada Myanmar, beberapa anggota
ASEAN akan bertemu di Malaysia (Kompas, 17/5/2015).Sebelumnya, pada November 2014, Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang mendesak Pemerintah Myanmar untuk mengakui kewarganegaraan Rohingya. Resolusi itu diadopsi secara mufakat pada sidang Komite Hak Asasi Manusia, Majelis Umum PBB, di New York, Amerika Serikat.
Resolusi itu pada intinya menyatakan "keprihatinan mendalam" atas nasib sekitar 800.000 warga Rohingya yang berdiam di Negara Bagian Rakhine, Myanmar barat, dan yang tersingkir ke kamp-kamp pengungsi di Myanmar, Banglades, dan di perbatasan Myanmar-Thailand. PBB mendesak Pemerintah Myanmar di Naypyidaw untuk memberikan status kewarganegaraan bagi etnis minoritas Rohingya.
Selain pembunuhan dan tindak kekejaman yang melukai fisi, kerugian harta dan kehormatan juga dialami Muslim Rohingnya. Massa Budha dilaporkan merampok dan menjarah desa-desa Muslim di Arakan serta memperkosa sejumlah Muslimah di sana. Ribuan Muslim yang ketakutan dengan kekejaman yang terus berlangsung, memilih mengungsi ke Bangladesh. Pejabat imigrasi Bangladesh memperkirakan, saat ini terdapat 300 ribu pengungsi Rohingya. Mereka memilih Bangladesh dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Namun, pengungsian tersebut bukan berarti tanpa masalah. Pekan lalu pihak berwenang Bangladesh memulangkan secara paksa sekitar 2000 orang etnis Rohingya. Selain itu, di daerah pengungsian kondisi para Muslim juga sangat memprihatinkan karena kekurangan makanan dan gangguan kesehatan akibat tempat tinggal yang memprihatinkan. Pekan lalu perahu-perahu Rohingya yang akan mengungsi ke Bangladesh ditembaki, mengakibatkan sebagian penumpang meninggal sebelum berhasil menginjakkan kaki di Bangladesh.
Kekerasan di desa-desa Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine (Arakan) di Burma (Myanmar), meliputi pembunuhan, penjarahan, pembakaran, penangkapan masih berlangsung. Badan-badan internasional, seperti PBB, masih tak berdaya menghadapi sekelompok etnis Buddha yang didukung pasukan gabungan ‘keamanan’ Rakhine. Ribuan Muslim Rohingya telah gugur akibat dibantai oleh etnis Rakhine secara brutal. Puluhan ribu lainnya menjadi tunawisma dan sedang menderita kelaparan dan pengobatan di Arakan.
Media-media Burma yang pro-Rakhine telah menyebarkan propaganda terkait Muslim Rohingya. Mereka menggambarkan bahwa Muslim Rohingya adalah teroris dan yang membunuh serta membakar rumah-rumah etnis Buddha Arakan. Salah satu bukti bahwa orang-orang etnis Rakhine-lah yang melakukan kekerasan adalah bisa dilihat dari pakaian mereka yang memakai pakaian khas Buddhis atau celana pendek. Perlu diketahui bahwa kebanyakan Muslim Rohingnya, mereka biasa memakai sarung selutut, mungkin sangat jarang yang terlihat memakai celana pendek. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa etnis Buddha menyamar berpakaian seperti Muslim Rohingya, buktinya saja, polisi Burma yang menangkapi para pemuda Rohingya yang kemudian disiksa, mereka diperlengkapi senjata untuk diambil gambar mereka dan disebarkan
Ribuan lainnya terpaksa melarikan diri ke negeri tetangga, Bangladesh, untuk menyelamatkan diri mereka. Sejumlah Muslim berhasil sampai ke Bangladesh dan berdiam diri di kamp pengungsian Lada, di selatan Bangladesh, yang dioperasikan oleh LSM Muslim Inggris yang menyediakan pengobatan dan bantuan makanan. Namun karena keterbatasan, kamp pengungsian dibangun dengan seadanya bahkan tidak layak. Tak semua Muslim Rohingya dapat tinggal di kamp pengungsian, disebabkan ribuan dari mereka telah diusir oleh otoritas Bangladesh karena dianggap ilegal. Sementara sejumlah Muslim juga ditahan oleh polisi-polisi perbatasan dan bahkan dihukum dijemur di atas pasir pantai yang panas.
Muslim Rohingya baik yang masih tinggal di Arakan dan sedang mengungsi ke negara tetangga, sedang dalam kondisi kritis, butuh pertolongan segera dari dunia internasional. Hingga kini Muslim Rohingya masih hidup dalam ketakutan.
Kabar pembunuhan, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan serta penangkapan Muslim Rohingya di negara bagian Arakan (Rakhine), Burma (Myanmar) masih terdengar. Kekerasan kejam tersebut dilakukan oleh orang-orang kafir Buddha dan pasukan gabungan tentara Burma. Ribuan jiwa Muslim tak bersalah telah gugur (syahid insya Allah) dalam kekerasan yang memuncak akhir-akhir ini.
Berdasarkan laporan dari forum Ansar Al-Mujahidin, para saksi mata dari keluarga korban yang terus berkomunikasi melalui telepon, memperkirakan bahwa jumlah kematian Muslim di Arakan dapat mencapai 6000 jiwa hingga saat ini (innalillahi wa innailaihi roji’uun). Sementara belum ada media yang dapat merinci jumlah spesifik korban, mengingat media-media saat ini hanya menerima laporan dari warga Rohingya di Arakan yang selamat dan masih bisa berkomunikasi. Menurut saksi, jumlah-jumlah yang selama ini dinyatakan hanya mewakili bahwa benar-benar terjadi pembantaian brutal terhadap Muslim di Arakan.
Selain itu dikatakan bahwa para etnis kafir Buddha telah membunuh ratusan orang Rohingya kemudian melemparkan jasad mereka ke teluk Bengal. Untuk menyembunyikan fakta dan menyebarkan propaganda busuk, para penganut Buddha etnis Rakhine itu menempatkan pakaian-pakaian yang biasa dikenakan warga Buddha kepada Muslim yang meninggal dan mengklaim bahwa mereka adalah jasad orang Buddha yang menjadi korban.
Pasukan gabungan Nasaka dan orang-orang Buddha Rakhine juga menangkapi warga-warga Rohingya dari desa-desa mereka yang dapat memimpin penduduk Muslim, kebanyakan pria dewasa atau para pemuda, dibawa ke tempat yang tidak diketahui dan dikabarkan telah tewas tak terlihat oleh penduduk setempat.
Lebih jauh lagi, karena kebanyakan yang dibunuh adalah Muslim laki-laki, sehingga banyak Muslim tinggal di rumah mereka tanpa perlindungan dari laki-laki, dan banyak Muslimah serta anak-anak yang melarikan diri menuju perbatasan Bangladesh, namun ironisnya pasukan ‘keamanan’ perbatasan Bangladesh mengirim kembali perahu-perahu mereka ke Myanmar, sehingga orang-orang kafir Buddha menenggelamkan perahu-perahu kaum Muslimin dan membunuh para penumpangnya.
Sementara puluhan ribu Muslim Rohingya di kota-kota di Arakan sedang menderita kelaparan karena tidak ada pasokan pangan yang cukup, juga karena toko-toko mereka telah dibakar habis, dan mereka juga menderita karena harus menjadi tunawisma karena rumah-rumah mereka ludes terbakar, hanya tinggal di tempat-tempat pengungsian yang sangat buruk kondisinya.
Sumber : http://fuki.cs.ui.ac.id/?p=1894
No comments:
Post a Comment