Terkumpul Sifat Qana’ah di Pagi Hari
Jika sifat qana’ah itu telah terkumpul pada diri seorang muslim, maka hakikatnya ia telah mendapatkan dunia seisinya.
Jika Tiga Nikmat Ini Terkumpul pada Diri Anda di Pagi Hari
Dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada
diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan
memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia
telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no.
4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib).
Hadits
di atas menunjukkan bahwa tiga nikmat di atas jika telah ada dalam diri
seorang muslim, maka itu sudah jadi nikmat yang besar. Siapa yang di
pagi hari mendapatkan tiga nikmat tersebut berarti ia telah memiliki
dunia seisinya. Lihat Rosysyul Barod Syarh Al Adab Al Mufrod, hal. 160.
Ajaran Sifat Qana’ah
Hadits di atas dibawakan oleh Ibnu Majah dalam Bab ”Qana’ah”. Di mana
rizki yang disebutkan dalam hadits tersebut dikatakan cukup dan patut
disyukuri. Inilah sifat qana’ah yang harus dimiliki oleh setiap muslim.
Pembahasan qana’ah dalam sunan Ibnu Majah tersebut disebutkan pula
hadits dari ’Abdullah bin ’Amr bin Al ’Ash, Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ هُدِىَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَرُزِقَ الْكَفَافَ وَقَنِعَ بِهِ
”Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rizki
yang cukup, dan qana’ah (merasa cukup) dengan rizki tersebut.” (HR.
Ibnu Majah no. 4138, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
Dalam bab yang sama pada Sunan Ibnu Majah disebutkan pula hadits,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ
هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
». قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ « عَلَيْكُمْ »
”Dari Abu Hurairah, ia
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
”Lihatlah pada orang yang berada di bawah kalian dan janganlah
perhatikan orang yang berada di atas kalian. Lebih pantas engkau
berakhlak seperti itu sehingga engkau tidak meremahkan nikmat yang telah
Allah anugerahkan -kata Abu Mu’awiyah- padamu.” (HR. Ibnu Majah no.
4138, shahih kata Syaikh Al Albani).
Disebutkan pula hadits Abu Hurairah berikut,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى
النَّفْسِ »
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Yang namanya kaya bukanlah
dengan memiliki banyak harta, akan tetapi yang namanya kaya adalah hati
yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446, Muslim no. 1051,
Tirmidzi no. 2373, Ibnu Majah no. 4137). Ghina nafs dalam hadits ini
yang dimaksud adalah tidak pernah tamak pada segala hal yang ada pada
orang lain.
Dalam hadits di atas terdapat pelajaran dari Ibnu
Baththol di mana beliau berkata ketika menjelaskan hadits dalam Shahih
Bukhari,
يريد ليس حقيقة الغنى عن كثرة متاع الدنيا، لأن كثيرًا ممن
وسع الله عليه فى المال يكون فقير النفس لا يقنع بما أعطى فهو يجتهد
دائبًا فى الزيادة، ولا يبالى من أين يأتيه، فكأنه فقير من المال؛ لشدة
شرهه وحرصه على الجمع، وإنما حقيقة الغنى غنى النفس، الذى استغنى صاحبه
بالقليل وقنع به، ولم يحرص على الزيادة فيه
”Yang dimaksud kaya
bukanlah dengan banyaknya perbendaharaan harta. Karena betapa banyak
orang yang telah dianugerahi oleh Allah harta malah masih merasa tidak
cukup (alias: fakir). Ia ingin terus menambah dan menambah. Ia pun tidak
ambil peduli dari manakah harta tersebut datang. Inilah orang yang
fakir terhadap harta (tidak merasa cukup dengan harta). Sikapnya
demikian karena niatan jelek dan kerakusannya untuk terus mengumpulkan
harta. Padahal hakikat kaya adalah kaya hati, yaitu seseorang yang
merasa cukup dengan yang sedikit yang Allah beri. Ia pun tidak begitu
rakus untuk terus menambah.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
مَنْ كَانَ طَالِبًا لِلزِّيَادَةِ لَمْ يَسْتَغْنِ بِمَا مَعَهُ فَلَيْسَ لَهُ غِنًى
”Siapa yang terus ingin menambah dan menambah lalu tidak pernah merasa
cukup atas apa yang Allah beri, maka ia tidak disebut kaya hati.” (Syarh
Shahih Muslim, 7: 140).
Yang dimaksud qana’ah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Baththol,
الرضا بقضاء الله تعالى والتسليم لأمره علم أن ما عند الله خير للأبرار،
”Ridho dengan ketetapan Allah Ta’ala dan berserah diri pada
keputusan-Nya yaitu segala yang dari Allah itulah yang terbaik.” Itulah
qana’ah.
Namun Tak Mengapa dengan Kaya Harta
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ
”Tidak mengapa seseorang itu kaya asalkan bertakwa. Sehat bagi orang
yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan hati yang bahagia adalah
bagian dari nikmat.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4: 69, shahih
kata Syaikh Al Albani).
Jadi tak mengapa kaya asalkan bertakwa.
Yang namanya bertakwa, selalu merasa cukup dengan kekayaan tersebut. Ia
tidak rakus dengan terus menambah. Kalau pun menambah karena hartanya
dikembangkan, ia pun merasa cukup dengan karunia Allah yang ada. Dan
yang namanya bertakwa berarti selalu menunaikan kewajiban yang berkaitan
dengan harta tersebut melalui zakat, menempuh jalan yang benar dalam
mencari harta dan menjauhi cara memperoleh harta yang diharamkan Islam.
Ya Allah, anugerahkanlah kami sifat yang mulia ini. Moga kami menjadi
hamba yang qana’ah dan kaya hati, yaitu dianugerahi hati yang selalu
merasa cukup.
____
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
No comments:
Post a Comment