Mewaspadi Penyakit Mental
"Aktivis Da’wah"
Oleh: Ust.H. Ibnu Sholeh, MA,MPI*
Salah satu penyakit da’wah yang banyak menimpa para da’i, adalah isti’jal (terburu-buru). Di dalam kamus da’wah, isti’jal
berarti : ingin mengubah realitas kaum muslimin yang ada sekarang dalam
sekejap mata. Tanpa mempertimbangkan akibat-akibat yang akan terjadi.
Tanpa memahami kondisi dan situasi yang ada. Tanpa memiliki persiapan
yang memadai, baik menyangkut sarana, manhaj atau kelanjutan pembinaan. Diantara bentuk-bentuk isti’jal yang sering muncul ke permukaan da’wah :
1. Ingin merekrut anggota jama’ah sebanyak-banyaknya. Tanpa memikirkan aspek kualitas (tarqiyah) moral, intelektual dan operasional. Tindakan ini, jika tidak segera diatasi, akan mengakibatkan tasaqut (bergugurannya)
para prajurit da’wah dari “kafilah da’wah” ini, karena titian kehidupan
setiap muslim, khususnya mereka yang terlibat aktif dalam gerakan
da’wah, tidak akan lepas dari “hal-hal yang tidak menyenangkan”,
sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW : “Syurga itu dikelilingi oleh
hal-hal yang tidak menyenangkan”. Akibat lain yang akan segera muncul,
karena tindakan ini mengakibatkan terjadinya futur (kelesuan) di kalangan mereka. Tidak bergairah untuk melakukan tugas iqamatuddin. Akhirnya tidak memiliki rasa
tanggung-jawab terhadap da’wah. Bahkan nilai-nilai ke-Islaman yang
dimilikinya pun akan mengalami degradasi sampai pada batas yang sangat
menyedihkan.
2. Ingin
segera melihat dan memetik buah da’wah. Biasanya gejala ini muncul
dalam bentuk gugatan-gugatan yang bernada frustasi : “Kita sudah
berda’wah sekian lama, tapi mengapa tidak pernah menang?”. Tragisnya
mereka mengartikan kemenangan da’wah itu hanya dengan banyaknya jumlah pengikut.
Padahal kemenangan da’wah menurut Islam itu beraneka ragam bentuknya.
Bisa dalam bentuk tersebarnya Ilmu yang bermanfaat,berpengaruhnya fikrah dan tumbangnya prinsip-prinsip Jahiliah.
Sebab-sebab Terjadinya Isti’jal
Terdapat banyak faktor yang ikut membentuk sikap isti’jal pada seseorang, diantaranya :
Pertama, faktor psikologis. Isti’jal, sebagaimana disebutkan Allah, adalah salah satu tabi’at yang melekat pada fitrah manusia.
خُلِقَ الْإِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ سَأُرِيكُمْ آَيَاتِي فَلَا تَسْتَعْجِلُون
“Manusia itu telah dijadikan (bertabiat ) tergesa-gesa” (Al-Anbiya’ : 37)
وَيَدْعُ الْإِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءَهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا
“ Dan manusia mendo’a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa” (Al-Isra’ : 11)
Sebab
itu jika seorang da’i tidak dapat mengendalikannya, dengan kendali
“akal” dan pemahaman, atau meredamnya, maka tidak ayal lagi naluri
tersebut akan mendorongnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang
“tergesa-gesa”, yang akan merugikan dirinya sendiri dan da’wah.
Dalam Al Qur’an, Allah menyebutkan kata sabar
lebih dari seratus kali. Baik dalam ayat-ayat Makkiah ataupun
dMadaniyah. Ini berarti untuk membina dan mengarahkan naluri manusia ini
kepada sikap dan tindakan yang terarah dan terprogram secara baik tidak
hanya memperturutkan emosi.
Kedua,
karena semangat keimanan yang tidak dibarengi oleh penguasaan manhaj
da’wah. Suatu program pembinaan yang hanya mengandalkan pada pemompaan
semangat keimanan, tanpa dibarengi penguasaan konsepsional da’wah, maka
tidak ayal lagi akan melahirkan tindakan tergesa-gesa. Sehingga
terjadilah pemborosan potensi keimanan. Karena dis-alokasi oleh karena itu Allah memberi arahan kepada kita didalam ayatnya :
قُلْ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنِ
اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ
عَلَيْهَا
وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِوَكِيلٍ
“Katakanlah: “Ini jalanku, Aku
dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
bashirah (manhaj da’wah) yang jelas. Maha suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf : 108).
Hendaknya,
Al Qur’an jangan hanya dijadikan sumber nilai dan kekuatan moral
(syariah). Tetapi harus juga dijadikan sebagai minhaj kehidupan dan
da’wah yang akan memberikan bimbingan, dan arahan dalam mengalokasikan
potensi moral tersebut.
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“untuk tiap-tiap ummat di antara kamu, kami berikan aturan (syariat dan jalan yang terang (minhaj)”. (Al-Maidah : 48)
Ketiga,
Watak dan tabiat zaman dimana kita hidup sekarang ini. Keberadaan kita
di abad teknologi dan informasi yang serba cepat dan canggih ini memberi
kemungkinan memiliki andil dalam membentuk dan melahirkan sikap
isti’jal. Sehingga para da’i pun ikut terbawa ingin cepat didalam
da’wahnya, ia lupa manusia tidak sama dengan teknologi yang dapat
dipercepat proses pematangannya.
Keempat,
ketidaktahuan tentang cara kerja musuh. Ini kemungkinan lain yang ikut
membidangi lahirnya isti’jal di kalangan ummat Islam, khususnya para
da’i. Mereka mudah tertipu kepura-puraan lawan, yang menyelusup kedalam
tubuh ummat Islam dengan membawa “racun-racun” pemikiran yang dibungkus
dengan “cap-cap” “jihad”, “hijrah” dan lain sebagainya. Ini ditambah
dengan ketidaktahuan mereka tentang Islam. Khususnya konsepsi Islam
tentang masalah-masalah yang sering dipakai oleh musuh sebagai “pisau”
untuk menusuk Islam dan ummatnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا
“Hai
orang-orang yang beriman, berhati-hatilah kamu, dan majulah (kemedan
jihad) berkelompok-kelompok (jama’ah) atau majulah bersama-sama “. (An-Nisa’ : 71)
Kelima,
lupa terhadap tujuan seorang muslim. Tujuan utama setiap muslim mencari
keridhaan Allah. Ini tidak dapat tercapai kecuali dengan berpegang
teguh terhadap manhaj-Nya. Teguh dan sabar, hingga menghadap kepada-Nya.
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Allah, maka hendaklah ia mengerjakan amal
shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Rabbnya”. (Al-Kahfi : 110).
Mereka lupa bahwa kita
hanya dituntut untuk beramal shalih. Amal yang sesuai dengan
manhaj-Nya. Kita tidak dituntut “Hasil” atau kemenangan dalam wujud
kekuasaan. Sebab, hal ini merupakan wewenang Allah yang akan diberikan
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
وَمَا
جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا
النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah”. (Al-Anfal : 10)
Sesungguhnya
fenomena terjadinya isti’jal di dalam da’wah ini bukan monopoli abad
kita sekarang saja. Di masa Rasulullah SAW pun fenomena isti’jal ini
pernah muncul. Khabbab bin Al-Arit ra. pernah datang kepada Rasulullah
tentang ihwal dirinya, dan para sahabat yang menghadapi gangguan yang
tak terperikan. Khabbab berkata “Wahai Rasulullah SAW, tidakkah engkau berkenan untuk berdo’a bagi kami ”.jawab Nabi SAW, “Kalian
ini belum seberapa. Orang-orang sebelum kalian bahkan ada yang
dimasukkan ke dalam lubang, kemudian digergaji kepalanya menjadi dua.
Tetapi itu semua tidak membuatnya bergeser dari agamanya., tetapi kalian
tergesa-gesa”.
Isti’jal,
suatu sikap yang berbahaya dan harus dihindari dalam da’wah.
Diantaranya dapat disembuhkan dengan bekerja melalui program yang
terarah, manhaj pembinaan yang jelas dan menyeluruh, dalam suatu
mekanisme kerja yang terpadu serta terstruktur. Tanpa program atau
manhaj da’wah yang jelas dan menyeluruh, selamanya kita akan terjebak ke
dalam sikap isti’jal.
* Anggota Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah, Kandidat Doktor Universitas Ibnu Khaldun Bogor
No comments:
Post a Comment