PAHAM KEAGAMAAN MUHAMMADIYAH
1. Sumber Ajaran Islam
Muhammadiyah,
sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio kultural, dalam dinamika
kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan
senantiasa merujuk pada ajaran Islam yang bersumber dari dua sumber primer
ajaran ini. Yakni Alquran dan Assunnah Almaqbulah. Hal ini bisa kita
lihat di dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah BAB II Pasal 4 ayat 1. Hanya saja
istilah Assunnah Almaqbulah baru digunakan setelah diresmikan
istilahnya pada Keputusan Musyawarah Nasional Majlis Tarjih XXV tentang Manhaj
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Jakarta tahun 2000, dan sebelumnya
digunakan istilah Assunnah Ashshahihah.
Untuk
mencapai maksud dan tujuannya yaitu mewujudkan masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, maka Muhammadiyah melaksanakan amar ma’ruf nahi
munkar dan tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang
kehidupan. Dalam pengembangan bidang keagamaan dan dakwah ditangani oleh dua
majlis yaitu Majlis Tarjih dan Tajdid (MTT) dan Majlis Tabligh dan Dakwah
Khusus (MT-DK).
Pemahaman Ajaran Islam
Hal-hal
yang berkaitan dengan paham agama dalam Muhammadiyah secara garis besar dan
pokok-pokoknya ialah sebagai berikut:
1)
Agama, yakni Agama Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W. ialah apa yang diturunkan Allah dalam Alquran
dan yang disebut dalam Sunnah maqbulah, berupa perintah-perintah,
larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan
akhirat (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams tentang al-Din).
2)
Muhammadiyah berkeyakinan bahwa
Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam,
Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad S.A.W.,
sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan
menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi (Matan
Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah/MKCHM butir ke-2).
3)
Muhammadiyah bekerja untuk
terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: (a) ‘Aqidah;
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari
gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip
toleransi menurut ajaran Islam; (b) Akhlaq; Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan
Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; (c) ‘Ibadah;
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ‘ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah
S.A.W. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia; (d) Mu’amalah dunyawiyat;
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia
dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan
semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah kepada Allah S.W.T. (MKCH,
butir ke-4).
4)
Islam adalah agama untuk
penyerahan diri semata-mata karena Allah, agama semua Nabi, agama yang sesuai
dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang
mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, dan agama
yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna. (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah/PHIWM, bab Pandangan Islam
Tentang Kehidupan).
5)
Bahwa dasar muthlaq untuk
berhukum dalam agama Islam adalah Alquran dan Sunnah. Bahwa di mana perlu dalam
menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk
diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ‘ibadah mahdhah
padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih dalam Alquran dan
Sunnah maqbulah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan
istinbath dari nash yang ada melalui persamaan ‘illat, sebagaimana telah
dilakukan oleh ‘ulama salaf dan Khalaf (Kitab Masalah Lima, Al-Masail Al-Khams
tentang Qiyas).
6)
Muhammadiyah dalam memaknai
tajdid mengandung dua pengertian, yakni pemurnian (purifikasi) dan pembaruan
(dinamisasi) (Keputusan Munas Tarjih di Malang).
Salah satu dari enam prioritas
program Muhammadiyah periode 2005-2010 ialah pengembangan tajdid di bidang
tarjih dan pemikiran Islam secara intensif dengan menguatkan kembali
rumusan-rumusan teologis seperti tauhid sosial, serta gagasan operasional
seperti dakwah jamaah, dengan tetap memperhatikan prinsip dasar organisasi dan
nilai Islam yang hidup dan menggerakkan (Keputusan Muktamar ke-45 di Malang
tahun 2005).
Mengingat kecenderungan atau
gejala melemahnya dan dangkalnya pemahaman mengenai Islam dalam Muhammadiyah,
pada saat yang sama, terdapat fenomena orang Muhammadiyah mengembangkan paham
sendiri-sendiri atau malah mengikuti paham lain, maka diperlukan ikhtiar
sistematis untuk menanamkan atau memantapkan kembali paham Agama (Islam) dalam
Muhammadiyah. Di antara langkah-langkah untuk menanamkan (memantapkan) kembali
paham Islam dalam Muhammadiyah ialah sebagai berikut:
1.
Majelis Tarjih
memproduksi/menghasilkan berbagai pedoman/tuntunan tentang ajaran Islam dalam
berbagai aspek kehidupan baik yang menyangkut aqidah, ibadah, akhlak, maupun mu’amalat
duniawiyah secara lengkap, mudah dipahami, dan bervariasi untuk dijadikan
pedoman dan dimasyarakatkan/dipublikasikan sesuai dengan keputusan-keputusan
Muktamar/Munas Tarjih.
2.
Pimpinan Persyarikatan diikuti
oleh Organisasi Otonom, amal usaha, dan berbagai institusi dalam Muhammadiyah
di berbagai tingkatan dari Pusat hingga Ranting menggiatkan kembali Kajian
Intensif Islam dalam Muhammadiyah, serta menyelenggarakan Pengajian Pimpinan
dan Pengajian Anggota, yang di dalamnya dipaketkan materi khusus secara
mendalam dan luas tentang Paham Agama (Islam) dalam
Muh mmadiyah.
3.
Menggiatkan pengajian-pengajian
umum yang membahas tentang Islam multiaspek dalam Muhammadiyah baik secara
rutin maupun dengan memanfaatkn momentum-momentum tertentu.
4.
Menyebarluaskan paham agama
(Islam) dalam Muhammadiyah ke berbagai lingkungan serta media publik, termasuk
melalui website, internet, dakwah seluler, dan sebagainya sehingga paham Islam
yang dikembangkan Muhammadiyah dapat dibaca, dipahami, dan diamalkan oleh umat
Islam dan masyarakat luas.
5.
Menghidupkan kembali
kultum/pengajian singkat di berbagai kegiatan, yang antara lain menjelaskan
tentang berbagai aspek ajaran Islam yang dipahami dan dipraktikan Muhammadiyah,
sehingga bukan sekadar membahas masalah-masalah organisasi belaka, kendati
tetap penting.
2. Bidang Aqidah
Aqidah Islam menurut Muhamadiyah dirumuskan
sebagai konsekuensi logis dari gerakannya. Formulasi aqidah yang dirumuskan
dengan merujuk langsung kepada suber utama ajaran Islam itu disebut ‘aqidah
shahihah, yang menolak segala bentuk campur tangan pemikiran teologis. Karakteristik aqidah Muhammadiyah itu secara umum dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Pertama, nash sebagai dasar rujukan. Semangat kembali kepada
Alquran dan Sunnah sebenarnya sudah menjadi tema umm pada setiap gerakan
pembaharuan. Karena diyakini sepenuhnya bahwa hanya dengan berpedoman pada
kedua sumber utama itulah ajaran Islam dapat hidup dan berkembang secara
dinamis. Muhammadiyah juga menjadikan hal ini sebagai
tema sentral gerakannya, lebih-lebih dalam masalah ‘aqidah, seperti
dinyatakan: “Inilah pokok-pokok ‘aqidah yang benar itu, yang terdapat dalam
Alquran dan dikuatkan dengan pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir.”
Berdasarkan
pernyataan di atas, jelaslah bahwa sumber aqidah Muhammadiyah adalah alquran
dan Sunnah yang dikuatkan dengan berita-berita yang mutawatir.
Ketentuan ini juga dijelaskan lagi dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih sebagai
berikut: “(5) Di dalam masalah aqidah hanya dipergunakan dalil-dalil yang
mutawatir, (6) Dalil-dalil umum Alquran dapat ditakhsis dengan hadits ahad,
kecuali dalam bidang aqidah, (16) dalam memahami nash, makna zhahir didahulukan
daripada ta’wil dalam bidang aqidah dan takwil sahabat dalam hal itu tidak
harus diterima.”
Ketentuan-ketentuan
di atas jelas menggambarkan bahwa secara tegas aqidah Muhammadiyah bersumber
dari Alquran dan Sunnah tanpa interpretasi filosofis seperti yang terdapat
dalam aliran-aliran teologi pada umumna. Sebagai konsekuensi dari penolakannya
terhadap pemikiran filosofis ini, maka dalam menghadapi ayat-ayat yang
berkonotasi mengundang perdebatan teologis dalam pemaknaannya, Muhammadiyah
bersikap tawaqquf seperti halnya kaum salaf.
Kedua, keterbatasan peranan akal dalam soal aqida Muhammadiyah termasuk
kelompok yang memandang kenisbian akal dalam masalah aqidah. Sehingga formulasi
posisi akal sebagai berikut “Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal
yang tidak tercapai pengertian oleh akal dalam hal kepercayaan, sebab akal
manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungan-Nya
dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya.”
Ketiga, kecondongan berpandangan ganda terhadap perbuatan
manusia. Pertama, segala perbuatan telah ditentukan oleh Allah dan manusia
hanya dapat berikhtiar. Kedua, jika ditinjau dari sisi manusia perbuatan
manusia merupakan hasil usaha sendiri. Sedangkan bila ditinjau dari sis Tuhan,
perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
Keempat, percaya kepada qadha’ dan qadar.
Dalam Muhammdiyah qadha’ dan qadar diyakini sebagai salah
satu pokok aqidah yang terakhir dari formulasi rukun imannya, dengan mengikuti
formulasi yang diberikan oleh hadis mengenai pengertian Islam, Iman dan Ihsan.
Kelima, menetapkan sifat-sifat Allah. Seperti halnya pada
aspek-aspek aqidah lainnya, pandangan Muhammadiyah mengenai sifat-sifat Allah
tidak dijelaskan secara mendetail. Keterampilan yang mendekati kebenaran
Muhammadiyah tetap cenderung kepada aqidah salaf.
3. Bidang Hukum
Muhammadiyah
melarang anggotanya bersikap taqlid, yaitu sikap mengikuti pemikiran
ulama tanpa mempertimbangkan argumentasi logis. Dan sikap keberagaman menumal
yang dibenarkan oleh Muhammadiyah adalah ittiba’, yaitu mengikuti
pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasi serta mengikutinya
dengan pertimbangan logika. Di samping itu, Muhammadiyah mengembangkan ijtihad
sebagai karakteristik utama organisasi ini. Adapun
pokok-pokok utama pikiran Muhammadiyah dalam bidang hokum yang dikembangkan
oleh Majlis Tarjih antara lain:
- Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illah terhadap hal-hal yang terdapat di dalam nash, dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbdi dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
- Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum.
- Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majlis Tarjih yang paling benar. Koreksi dari siapa pun akan diterima sepanjang diberikan dalil-dalil yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
- Ibadah ada dua macam, yaitu ibadah khusus, yaitu apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu, dan ibadah umum, yaitu segala perbuatan yang dibolehkan oleh Allah dalam rangka mendekatkan diri kepadaNya.
- Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Alquran dan Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan.
4. Bidang Akhlak
Mengingat pentingnya akhlaq
dalam kaitannya dengan keimanan seseorang, maka Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam juga dengan tegas menempatkan akhlaq sebagai salah satu sendi dasar sikap
keberagamaannya. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah dijelaskan
“Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan
berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi pada
nilai-nilai ciptaan manusia.”
Akhlak adalah nilai-nilai dan
sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan
gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali).
Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti sabar, syukur, tawakal, birrul
walidaini, syaja’ah dan sebagainya (Al-Akhlaqul Mahmudah) dan sombong,
takabur, dengki, riya’, ‘uququl walidain dan sebagainya (Al-Akhlaqul
Madzmuham).
Mengenai Muhammadiyah menjadikan
akhlaq sebagai salah satu garis perjuangannya, hal ini selain secara tegas
dinyatakan dalam nash, juga tidak dapat dipisahkan dari akar historis
yang melatarbelakangi kelahirannya. Kebodohan, perpecahan di antara sesama
orang Islam, melemahnya jiwa santun terhadap dhu’afa’, pernghormatan
yang berlebi-lebihan terhadap orang yang dianggap suci dan lain-lain, adalah
bentuk realisasi tidak tegaknya ajaran akhlaqul karimah.
Untuk menghidupkan akhlaq yang islami,
maka Muhammadiyah berusaha memperbaiki dasar-dasar ajaran yang sudah lama
menjadi keyakinan umat Islam, yaitu dengan menyampaikan ajaran yang benar-benar
berdasar pada ajaran Alquran dan Sunnah Maqbulah, membersihkan jiwa
dari kesyirikan, sehingga kepatuhan dan ketundukan hanya semata-mata kepada
Allah. Usaha tersebut ditempuh melalui pendidikan, sehingga sifat bodoh dan
inferoritas berangsur-angsur habis kemudian membina ukhuwah antar sesame muslim
yang disemangati oleh Surat Ali Imron ayat 103.
Adapun sifat-sifat akhlak Islam
dapat digambarkan sebagai berikut:
- Akhlaq Rabbani : Sumber akhlaq Islam itu wahyu Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlaq Islamlah moral yang tidak bersifat kondisional dan situasional, tetapi akhlaq yang memiliki nilai-nilai yang mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari nilai moralitas dalam hidup manusia (Q.S.) Al-An’am / 6 : 153).
- Akhlak Manusiawi. Akhlaq dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa manusia yang merindukan kebaikan, dan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq dalam Islam. Akhlaq Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.
- Akhlak Universal. Sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala aspek kehidupan manusia baik yang berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S. Al-An’nam : 151-152).
- Akhlak Keseimbangan. Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hidup di dunia maupun di akhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi secara seimbang, begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap masyarakat, seimbang pula. (H.R. Buhkori).
- Akhlaq Realistik. Akhlaq Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia walaupun manusia dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk lain, namun manusia memiliki kelemahan-kelemahan itu yaitu sangat mungkin melakukan kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat. Bahkan dalam keadaan terpaksa. Islam membolehkan manusia melakukan yang dalam keadaan biasa tidak dibenarkan. (Q.S. Al- Baqarah / 27 : 173) (http://luqm.multiply.com/journal/item/74).
5. Bidang Mu’amalah Dunyawiyah
Mua’malah : Aspek kemasyarakatan
yang mengatur pegaulan hidup manusia diatas bumi ini, baik tentang harta benda,
perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan lain
sebagainya.
Di dalam prinsip-prinsip Majlis
Tarjih poin 14 disebutkan “Dalam hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang
tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk
tercapainya kemaslahatan umat.”
Adapun prinsip-prinsip mu’amalah dunyawiyah yang terpenting antara lain:
- Menganut prinsip mubah.
- Harus dilakukan dengan saling rela artinya tidak ada yang dipaksa.
- Harus saling menguntungkan. Artinya mu’amalah dilakukan untuk menarik mamfaat dan menolak kemudharatan.
- Harus sesuai dengan prinsip keadilan.
C. Metodologi Ijtihad
Jalan Ijtihad yang ditempuh
Majlis Tarjih meliputi :- Ijtihad Bayan : yaitu ijtihad terhadap ayat yang mujmal baik karena belum jelas maksud lafadz yang dimaksud, maupun karena lafadz itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti yang jumbuh (mutasyabih) ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arrudl) dalam hal terakhir digunakan cara jama’ dan talfiq.
- Ijma’: Kesepakatan para imam mujtahid di kalangan umat Islam tentang suatu hukum Islam pada suatu masa (masa sahabat setelah Rasulullah wafat). Menurut kebanyakan para ulama, hasil ijma’ dipandang sebagai salah satu sumber hukum Islam sesudah Alquran dan Sunnah. Pemikiran tentang ijma’ berkembang sejak masa sahabat sampai masa sekarang, sampai masa para imam mujtahid.
- Qiyas: Menyamakan sesuatu hal yang tidak disebutkan hukumnya di dalam nash, dengan hal yang disebutkan hukumnya di dalam nash, karena adanya persamaan illat (sebab) hukum pada dua macam hal tersebut, contoh: hukum wajib zakat atas padi yang dikenakan pada gandum. Untuk Qiyas digunakan dalam bidang muamalah duniawiyah, tidak berlaku untuk bidang ibadah mahdlah. La qiyasa fil ibadah.
- Maslahah, atau Istislah. Yaitu, menetapkan hukum yang sama sekali tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan mamfaat dan menghindarkan madlarat. Contoh, mengharuskan pernikahan dicatat, tidak ada satu nash pun yang membenarkan atau membatalkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kepastian hukum atas terjadinya perkawinan yang dipergunakan oleh negara. Hal ini dilakukan untuk melindungi hak suami istri. Tanpa pencatatan negara tidak mempunyai dokumen otentik, atas terjadinya perkawinan.
- Istihsan: yaitu memandang lebih baik, sesuai dengan tujuan syariat, untuk meninggalkan ketentuan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh: Harta zakat tidak boleh dipindah tangankan dengan cara dijual, diwariskan, atau dihibahkan. Tetapi kalau tujuan perwakafan (tujuan syar’i) tidak mungkin tercapai, larangan tersebut dapat diabaikan, untuk dipindah tangankan, atau dijual, diwariskan atau dihibahkan. Contoh : Mewakafkan tanah untuk tujuan pendidikan Islam. Tanah tersebut terkena pelebaran jalan, tanah tersebut dapat dipindahtangankan dengan dijual, dibelikan tanah ditempat lain untuk pendidikan Islam yang menjadi tujuan syariah diatas.
No comments:
Post a Comment