POTRET NEGARA PANCASILA (SEBUAH RENUNGAN UNTUK KITA BERSAMA)
Akhir-akhir ini bangsa kita dilanda krisis multidimensi, dimana bangsa Indonesia mengalami krisis dalam segala aspek kehidupannya termasuk krisis sejarah dan budaya. Sejak dideklarasikannya orde yang paling baru, yaitu orde reformasi oleh oknum-oknum politik bangsa Indonesia yang menganggap bahwa, satu-satunya jalan untuk meretas jembatan emas bagi masa depan bangsa Indonesia adalah menggulingkan rezim Orde Baru menuju Orde Reformasi yang mengagendakan demokrasi yang benar-benar demokrasi, mewujudkan keadilan yang benar-benar adil, dan memberantas segala kecurangan di tubuh pemerintahan.
Agenda ini sungguh teramat sangat bagus dan enak betul menusuk telinga dan perasaan kita semua. Namun, pelaksanaannya menyebabkan bangsa kita semakin amburadur terutama dalam aspek birokrasi, politik, hukum, dan tatanan pemerintahan. Sektor-sektor yang lain pun ikut amburadul sebab kebebasan terlalu disematkan. Apa yang terjadi?, Kenyataannya Indonesia bangsa yang dibangun dengan titisan air mata darah dan ditebus dengan berjuta nyawa semakin diremehkan oleh mata dunia.
Reformasi yang menghendaki perubahan kearah yang lebih baik, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Krisis merajalela dalam semu aspek kehidupan, sedang orang-orang dipemerintahan sibuk berebut kursi dan saling menuding satu sama lainnya, maka timbullah organisasi-organisasi yang mengatas namakan rakyat demi kepentingan golongan mereka. Partai Politik (Parpol) tumbuh seperti jamur dimusim hujan. Hal ini adalah bukti dari kegagalan para demokrat yang sangat ambisius untuk mendirikan bangsa yang beridiologi libral padahal bangsanya adalah bangsa yang beridiologi konservatif. Di sinilah kita dapat melihat betapa pintarnya para birokrat bangsa Indonesia yang ingin membangun bangsa ini dengan idiologi yang sangat bertolak belakang dengan idiologi yang ditebus dengan darah dan air mata nanah oleh para pejuang bangsa di masa lalu. Namun dalam kenyataannya orang-orang pintar tersebut gagal untuk mentransfer idiologi baru yang mereka anggap cocok dan patut untuk diterapkan di bangsa yang beridiologi Pancasila ini.
Jika kita menoleh ke masa lalu, dimana bangsa Indonesia berada dalam rezim pemerintahan Soekarno-Hatta yang dikenal oleh orang-orang pintar dengan sebutan Rezim Orde Lama (Orla). Pada saat itu bangsa Indonesia juga tidak jauh beda dengan sekarang. Namun, tidakkah mereka sebagai demokrat dan oknum-oknum pemerintahan mau berkaca dari kaca sejarah tersebut, malahan mereka mengagendakan reformasi namun ujung-ujungnya mereka mengembalikan bangsa ini ke zaman Orde Lama.
Coba kita amati bagaimana situasi bangsa kita di masa itu. Lihat saja aspek pemerintahannya, pada saat itu terjadi pula krisis yang sangat meresahkan rakyat namun krisis itu hanya pada aspek ekonomi dan pemerintahan saja, tidak seperti yang terjadi pada orde yang paling baru ini, dimana bangsa kiat mengalami krisis yang sangat mengenaskan terutama krisis kepercayaan dan krisis sejarah. Tapi maaf, penulis tidak bermaksud untuk mengagung-agungkan Orde Lama saja. Semua orde adalah baik, dan sudah tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Namun, mengapa penulis mengatakan bahwa sejak zaman Reformasi, Indonesia mengalami krisis sejarah, sebab sejak digulingkannya Orde Baru (Orde Diktator Soeharto) sejarah Indonesia dirombak dan diubah-ubah sesuai dengan keinginan pra reformis yang mengagap sejarah Indonesia adalah sejarah yang dibuat-buat oleh pemerintah Orde Baru. Namun toh mereka tidak bisa mencari justifikasi sejarah Indonesia yang benar dan relevan dengan kenyataan yang terjadi pada masa lampau. Akhirnya mata dunia memandang remeh bangsa kita sebab bangsa yang agung adalah bangsa yang memiliki sejarah yang benar, menghargainya, kemudian belajar dari sejarah tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada masa Orde Lama dimana pada saat itu para birokrat sangat menghargai sejarah, mereka mau berkaca dari kegagalan masa lalunya dan sangat mengutamakan jiwa nasionalisme.
Selanjutnya dalam aspek politik pada zaman Orde Lama juga berkembang organisasi politik, namun itu memang bertujuan untuk rakyat dan patut jika aktor politik masa lalu mengatas namakan rakyat, sebab mereka memang berjuang untuk kepentingan rakyat. Berbeda dengan organisasi politik di zaman Reformasi sekarang ini yang mengatas namakan rakyat demi kepentingan golongannya saja. Para politikus sibuk dengan partai dan golongan mereka masing-masing, sedang rakyat hanya menuai janji-janji muluk dari mulut mereka yang penuh dengan madu yang berbisa. Demikianlah dinamika bangsa kita yang penuh dengan kepalsuan dan ditimang oleh kebohongan. Maka tak heran jika bangsa lain menggerogoti kita lewat berbagai jalan, sebab bangsa kita semakin lemah dan tak mampu berbuat apa-apa pada era yang didamba-dambakan.
Bagaimana tidak! Dalam tubuh bangsa terjadi perpecahan yang sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. Lihat saja perang tanding yang dilakukan oleh para politikus dan para birokrat yang bercokol di atas singgasana yang telah hilang kakinya. ABRI yang sangat kita bangga-banggakan toh terpecah belah padahan ABRI adalah kekuatan utama bangsa Indonesia. Bendera partai politik lebih dibanggakan dari pada bendera Merah Putih yang menjadi bendera pemersatu Indonesia.
Salah satu jalan untuk mengatasi kebebrokan ini adalah belajar untuk mengenal dan menghormati sejarah, tetapi jangan hanya menghormati saja kita juga harus belajar dari sejarah itu. Jiwa nasionalisme harus ditanamkan bagi generasi baru bangsa ini supaya mereka tidak menjadi orang yang lembek, mudah dipecah-belah, dan mudah diadu domba. Sejarah adalah salah satu senjata yang ampuh untuk membangun bangsa yang ideal, hanya saja pelajaran sejarah yang diberikan di sekolah sudah banyak terkontaminasi oleh kepentingan penguasa rezim.
Betapa kita buta akan sejarah kita sendiri, sehingga kita tidak tahu mana sejarah, mana cerita, mana yang disebut mitos, dan mana yang disebut dengan babat. Lihat bagaimana daerah-daerah atau beberapa pulau yang memang benar-benar ada dalam wilayah kekuasaan bangsa kita dengan mudahnya direbut oleh bangsa lain. Apa sebabnya ?.
Jawabnya adalah karena bangsa kita lemah dan tidak mengerti, bahkan buta akan sejarahnya sendiri. Pemerintah kita tidak menghargai pengorbanan leluhurnya yang telah menebus bangsa ini dengan lautan darah, tapi sekarang negara lain dengan mudah merebut pulau-pulaunya. Inikah yang disebut dengan Reformasi, inikah yang disebut dengan zaman yang gemilang. Inilah pertanyaan besar yang harus dijawab oleh para reformis, para birokrat yang menganggap bahwa negara ini adalah milik golongan mereka sendiri, para cendikiawan yang terus merasa dirinya paling pintar, dan kita semua yang kebanyakan merasa benar atas tindakan kita masing-masing.
Bangsa ini memang telah dipenuhi oleh narkotika sehingga bangsa kita terbuai dalam timangan kebohongan, kepura-puraan, ketidak adilan, hayalan, dan kelaliman. Para birokrat selalu berpura-pura untuk menyelamatkan rakyar dari ketidak pastian dengan irama merdu dan nyanyian-nyanian palsu dari lidah mereka yang berbisa dan mulut mereka yang berbusa-busa.
Mungkin ini adalah suara yang keras, namun bukankah kekerasan itu lebih baik dari kepura-puraan. Bangsa kita dicengkeram oleh tawon yang selalu membuat madu di singgasana yang hilang kakinya, sehingga bangsa kita dilanda oleh sakit yang sangat parah, namun ketahuilah bahwa bangsa kita sudah terbiasa dilanda sakit dan sekarat oleh narkotika yang disusupkan oleh para birokrat pada tubuh bangsa ini. Para reformis memberontak dan menggulingkan rezim diktatornya Soeharto dengan mengagung-agungkan keadilan, demokrasi, keterbukaan, dan menghancurkan tirani kepalsuan supaya terbebas dari belenggu penindasan. Toh reformasi yang mereka ciptakan semakin menghancurkan bangsa, kebebasan yang mereka agung-agungkan membuat rusak filosofis Pancasila, undang-undang dijual belikan, hukum semakin dipermainkan, indologi bangsa dapat diekspor dan inpor, sedang rakyat hanya bisa menganga dan menikmati derita dengan pasrah.
Kita semua pasti mengetahui bahwa Indonesia adalah negara yang kaya, “Orang bilang tanah kita tanah syurga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, begitulah lagu yang dilantunkan seorang sastrawan dan terdengar manis di liang telinga kita. Seorang da’i juga kerap kali berteriak di depan kita, mengatakan bahwa “tanah Indonesia adalah pertikan dari syurga”. Memang, itu adalah realita yang dapat kita saksikan dengan mata tanpa kaca mata. Lalu mengapa rakyat Indonesia seperti “Tikus Mati di Lumbung Padi”. Hal ini disebabkan oleh kebijakan yang diambil atas kepentingan politik. Di negara kita banyak bawang, lalu mengapa pemerintah menginpor bawang dari luar negeri, negara kita kaya akan padi tapi mengapa pemerintah menginfor padi dari luar negeri, di tanah pertiwi ini banyak sumber pangan tapi mengapa pemerintah menginfor bahan pangan dari negeri lain. Apakah ini kebodohan ataukah kesengajaan mereka yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan, entah-lah ?.
Krisis moral juga menjadi-jadi, lihatlah berita di layar TV, bacalah koran setiap pagi, dan dengarkan siaran berita dari rado yang ada di tiap pelosok negeri. Betapa menyedihkan, mahasiswa saling bunuh dengan sesama mahasiswa, tauran pelajar dimana-mana, pemerkosaan menjadi berita kebanggaan di tiap media, narkotika dan miras dijadikan kebutuhan istimewa oleh birokrat, artis, mahasiswa, dan sebagian besar generasi muda. Lalu kurikulum pendidikan menyusupkan pembelajaran karakter pada setiap materi pelajaran, hanya saja itu terlambat sebab undang-undang perlindungan hak anak sudah lebih dulu diberlakukan.
Sudah cukup kita saksikan, betapa moral anak bangsa sudah hampir tiada. Perdagangan anak dan bayi di mana-mana. Pornografi dan pornoaksi menjadi tayangan laris di layar televisi. Perampokan dimana-mana, rasa saling menghormati dan menghargai yang hampir tiada, bahkan wakil rakyat saling lempar di meja siding-nya, dan yang paling memperihatinkan ada wakil rakyat yang menonton video porno di dalam ruang agung yang dibangun dengan tereliunan uang rakyat jelata.
Di sudut lain kita selaku rakyat hanya bisa memberikan kritik tanpa bisa member solusi. Kita selaku rakyat hanya bisa berorasi dan menutup jalan dengan membakar ban di depan gedung-gedung pemerintahan yang kita anggap tidak memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan, tetapi kita sendiri tidak pernah bisa melakukan apa-apa jika dihadapkan dengan suatu permasalahan. Sebagianm besar kita selaku rakyat Indonesia tidak pernah merasa bersyukur atas nikmat cipratan syurga (Indonesia) yang dihadiahkan tuhan kepada kita. Kita selalu berangapan bahwa pelangi itu senantiasa di atas kepala orang lain, sebab itulah kita lebih mengagung-agungkan Amerika, Malaysia, Singapura, dan negara-negara lainnya dari pada kita harus mengangunggkan dan memberikan penghormatan kepada para pemimpin negara kita.
Banyak lagi kebabrokan yang sudah sama-sama kita saksikan, termasuk politik uang yang hingga sekarang belum bisa dihentikan. Oleh sebab itu, kita tidak perlu heran melihat para birokrat korupsi bermiliar-miliar jumlahnya, sebab kita sebagai rakyat yang mengajari mereka. Betapa naïf duhai saudara, kita telah menjual diri kita dengan menerima uang sepuluh ribu rupiah, terlalu murah kita jual diri dan masa depan kita dengan sebungkus rokok dan satu dus mie instan. Jadi kita tidak perlu menyalahkan mereka, sebab di musim pemilu kita telah mengajari mereka dengan kebiasaan yang penulis sebut dengan GOLPUT JILID DUA alias “GOLONGAN PENUNGGU UANG TUNAI”. Tidak ada uang tidak ada suara, itulah budaya politik yang kita tawarkan kepada mereka. Lantas setelah mereka kita beri suara, mereka bebas berbuat seenaknya sebab suara kita sudah mereka bayar dengan harga yang tiada nilainya.
Saudara, inilah sekilas potret negeri kita yang ku ambil dari kaca mata picik yang ku pasang di ujung hidung ku yang tak mancung. Semoga bisa menjadi renungan dan landasan berpikir bagi kita agar bisa berpikir positif untuk melakukan hiuristik, kritik, berinterpretasi, dan mengambil keputusan dengan penuh tanggung jawab agar esok lusa dan selanjutnya negara yang kita sayangi ini “Indonesia Raya” bisa terbebas dari krisis multi dimensi yang hingga kini diderita-nya. “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika mereka tidak mau merubah dirinya sendiri”, demikianlah firman Allah dalam Al-Qur’an yang kita imami.
No comments:
Post a Comment