PENERIMAAN TANPA
SYARAT
Ada sebuah kisah
yang tersebar. Kisah ini sangat panjang, tapi bermakna dalam. Semoga teman-teman
di grup ini bisa ikut mengambil hikmah dari kisah tersebut. Beberapa kata dan
penulisan saya sunting seperlunya.
Ini adalah kisah
dari milis warga Indonesia yang bermukim atau pernah bermukim di Jerman.
Layak untuk
dibaca beberapa menit dan direnungkan seumur hidup.
Saya adalah ibu
dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah. Kelas terakhir yang
harus saya ambil adalah sosiologi.
Tugas terakhir
dosen kepada siswa diberi nama "Smiling".
Seluruh siswa
diminta untuk memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan
mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu, setiap siswa diminta untuk
mempresentasikan di depan kelas. Saya adalah seorang yang mudah bersahabat dan
selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.
Setelah menerima
tugas tersebut, saya bergegas menemui suami dan anak bungsu saya, yang menunggu
di taman kampus, lalu pergi ke restoran McDonald's di kampus. Pagi itu udaranya
sangat dingin dan kering. Sewaktu suami akan masuk dalam antrean, saya minta
agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk dan saya
mengantre.
Ketika saya
sedang dalam antrean, mendadak setiap orang di sekitar bergerak menyingkir, bahkan
orang yang semula antre di belakang saya ikut menyingkir keluar dari antrean.
Perasaan panik
menguasai diri saya ketika melihat dan berpikir mengapa mereka semua menyingkir?
Saat berbalik saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup
menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma
yang sangat dekil!
Saya bingung dan
tidak mampu bergerak sama sekali.
Ketika saya
menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek dan ia
sedang "tersenyum" ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot
matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arah saya, seolah
ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' di tempat itu.
Ia menyapa, "Good day!" sambil tetap tersenyum. Secara spontan saya membalas senyumnya dan
seketika teringat 'tugas' yang diberikan dosen saya. Lelaki kedua sedang
memainkan tangannya dengan gerakan aneh dan berdiri di belakang temannya.
Saya segera
menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental dan lelaki bermata
biru itu adalah "penolong"nya. Saya merasa sangat prihatin setelah
mengetahui bahwa ternyata dalam antrean itu kini hanya tinggal saya bersama
mereka dan kami bertiga tiba-tiba saja sudah sampai di depan "counter".
Ketika wanita
muda di "counter" menanyakan apa yang ingin saya pesan, saya
persilakan kedua lelaki itu untuk memesan duluan.
Lelaki bermata
biru segera memesan, "Kopi saja, satu cangkir, Nona."
Ternyata dari
koin yang dia pegang, hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (aturan
restoran di Jerman, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh,
orang harus membeli sesuatu). Tampaknya kedua orang ini hanya ingin
menghangatkan badan.
Tiba-tiba saja
saya diserang oleh rasa iba, yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil
mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yg terpisah dari tamu-tanu
lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka. Pada saat yang bersamaan,
saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang
tertuju ke diri saya dan melihat semua 'tindakan' saya.
Saya baru
tersadar setelah petugas di "counter" itu menyapa saya untuk ketiga
kalinya dan menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta
diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah.
Setelah membayar
semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain di "counter" itu untuk
mengantarkan nampan pesanan saya ke meja atau tempat duduk suami dan anak saya,
sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja
yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan
berisi makanan itu di atas mejanya dan meletakkan tangan saya di atas punggung
telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil berucap, "makanan ini
telah saya pesan untuk kalian berdua."
Kembali mata biru
itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan
hanya mampu berkata, "Terima kasih banyak, Nyonya." Saya mencoba
tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya dan berkata, "Sesungguhnya
bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Allah juga berada di sekitar sini
dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini
kepada kalian."
Mendengar ucapan
saya, si mata biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil
terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.
Saya sudah tidak
dapat menahan tangis ketika berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan
suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika duduk, suami
mencoba untuk meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata, "Sekarang
saya tahu kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk
memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-anakku!" Kami saling
berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu benar-benar bersyukur dan
menyadari bahwa hanya karena bisikan-Nya, kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan'
untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.
Ketika kami
sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan
disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu per satu menghampiri meja kami
untuk sekadar ingin 'berjabat tangan' dengan kami. Salah satu di antaranya, seorang
bapak, memegangi tangan saya, dan berucap, "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran
yang mahal bagi kami semua yang berada di sini. Jika suatu saat diberi
kesempatan oleh-Nya, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi
kepada kami."
Saya hanya bisa
berucap "terima kasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak untuk meninggalkan
restoran, saya menyempatkan untuk melihat ke arah kedua lelaki itu dan seolah
ada 'magnet' yang menghubungkan batin kami. Mereka langsung menoleh ke arah
kami sambil tersenyum, lalu melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Dalam
perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap
kedua tunawisma tadi. Itu benar-benar tindakan yang tidak pernah terpikir oleh
saya.
Pengalaman hari
itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Allah itu HANGAT dan INDAH
sekali!
Saya kembali ke "college",
pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini di tangan saya. Saya menyerahkan 'paper'
saya kepada dosen. Keesokan hari, sebelum mulai kuliah, saya dipanggil dosen
saya ke depan kelas. Ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya
membagikan ceritamu ini kepada yang lain?"
Dengan senang
hati saya mengiyakan. Ketika akan memulai kuliah, dia meminta perhatian dari
kelas saat membacakan 'paper' saya. Ia mulai membaca, para siswa pun
mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan
cara dan gaya pembawaan sang dosen, para siswa yang hadir di ruang kuliah itu
seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga
para siswi yang duduk di deretan belakang di dekat saya di antaranya datang
memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.
Di akhir
pembacaan tersebut, sang dosen sengaja menutup cerita dengan mengutip salah
satu kalimat yang saya tulis di akhir paper.
"Tersenyumlah
dengan 'HATImu' dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang
ditimbulkan oleh senyummu itu."
Dengan cara-Nya
sendiri, Allah telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang di
McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di
malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan satu pelajaran
terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah mana pun, yaitu:
"PENERIMAAN TANPA SYARAT".
Banyak cerita
tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembaca, namun
bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini semoga dapat
mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN
SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG
BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!
Jika Anda
berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati, teruskan cerita ini kepada
orang-orang terdekat. Di sini ada 'malaikat' yang akan menyertai Anda agar
setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerak hatinya untuk bisa
berbuat sesuatu (sekecil apa pun) bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran
tangannya!
Orang bijak
mengatakan, "Banyak orang yang datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi
hanya 'sahabat yang bijak', yang akan meninggalkan JEJAK di dalam hatimu."
Untuk
berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu, sedangkan untuk berinteraksi
dengan orang lain gunakan hatimu.
Semangat mengisi
akhir Ramadan dengan perenungan dan persiapan untuk kesempatan dan kebaikan
yang akan datang
No comments:
Post a Comment