GURU MIM BANARAN SAMBUNGMACAN

GURU MIM BANARAN SAMBUNGMACAN

siswa

siswa

.

Q.S. Ali Imran : 104

"DAN HENDAKLAH ADA DI ANTARA KAMU SEGOLONGAN UMAT YANG MENYERU KEPADA KEBAJIKAN, MENYURUH KEPADA YANG MA’RUF DAN MENCEGAH DARI YANG MUNKAR; MEREKALAH ORANG-ORANG YANG BERUNTUNG.” (Q.S. ALI IMRAN [3]: 104)

KH. AHMAD DAHLAN

"HIDUP-HIDUPILAH MUHAMMADIYAH DAN JANGAN MENCARI HIDUP DI MUHAMMADIYAH"

PENERIMAAN TANPA SYARAT



PENERIMAAN TANPA SYARAT

Ada sebuah kisah yang tersebar. Kisah ini sangat panjang, tapi bermakna dalam. Semoga teman-teman di grup ini bisa ikut mengambil hikmah dari kisah tersebut. Beberapa kata dan penulisan saya sunting seperlunya.

Ini adalah kisah dari milis warga Indonesia yang bermukim atau pernah bermukim di Jerman.
Layak untuk dibaca beberapa menit dan direnungkan seumur hidup.

Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah sosiologi.
Tugas terakhir dosen kepada siswa diberi nama "Smiling".
Seluruh siswa diminta untuk memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu, setiap siswa diminta untuk mempresentasikan di depan kelas. Saya adalah seorang yang mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.

Setelah menerima tugas tersebut, saya bergegas menemui suami dan anak bungsu saya, yang menunggu di taman kampus, lalu pergi ke restoran McDonald's di kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami akan masuk dalam antrean, saya minta agar dia saja yang menemani si bungsu sambil mencari tempat duduk dan saya mengantre.

Ketika saya sedang dalam antrean, mendadak setiap orang di sekitar bergerak menyingkir, bahkan orang yang semula antre di belakang saya ikut menyingkir keluar dari antrean.

Perasaan panik menguasai diri saya ketika melihat dan berpikir mengapa mereka semua menyingkir? Saat berbalik saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil!

Saya bingung dan tidak mampu bergerak sama sekali.

Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek dan ia sedang "tersenyum" ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' di tempat itu.

Ia menyapa, "Good day!" sambil tetap tersenyum. Secara spontan saya membalas senyumnya dan seketika teringat 'tugas' yang diberikan dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh dan berdiri di belakang temannya.
Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental dan lelaki bermata biru itu adalah "penolong"nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrean itu kini hanya tinggal saya bersama mereka dan kami bertiga tiba-tiba saja sudah sampai di depan "counter".

Ketika wanita muda di "counter" menanyakan apa yang ingin saya pesan, saya persilakan kedua lelaki itu untuk memesan duluan.
Lelaki bermata biru segera memesan, "Kopi saja, satu cangkir, Nona."

Ternyata dari koin yang dia pegang, hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (aturan restoran di Jerman, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, orang harus membeli sesuatu). Tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Tiba-tiba saja saya diserang oleh rasa iba, yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yg terpisah dari tamu-tanu lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya dan melihat semua 'tindakan' saya.

Saya baru tersadar setelah petugas di "counter" itu menyapa saya untuk ketiga kalinya dan menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain di "counter" itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja atau tempat duduk suami dan anak saya, sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil berucap, "makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua."

Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca-kaca dan hanya mampu berkata, "Terima kasih banyak, Nyonya." Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya dan berkata, "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Allah juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."

Mendengar ucapan saya, si mata biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.

Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika duduk, suami mencoba untuk meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata, "Sekarang saya tahu kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-anakku!" Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu benar-benar bersyukur dan menyadari bahwa hanya karena bisikan-Nya, kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.

Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu per satu menghampiri meja kami untuk sekadar ingin 'berjabat tangan' dengan kami. Salah satu di antaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap, "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada di sini. Jika suatu saat diberi kesempatan oleh-Nya, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami."

Saya hanya bisa berucap "terima kasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak untuk meninggalkan restoran, saya menyempatkan untuk melihat ke arah kedua lelaki itu dan seolah ada 'magnet' yang menghubungkan batin kami. Mereka langsung menoleh ke arah kami sambil tersenyum, lalu melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua tunawisma tadi. Itu benar-benar tindakan yang tidak pernah terpikir oleh saya.
Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Allah itu HANGAT dan INDAH sekali!

Saya kembali ke "college", pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini di tangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen. Keesokan hari, sebelum mulai kuliah, saya dipanggil dosen saya ke depan kelas. Ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?"
Dengan senang hati saya mengiyakan. Ketika akan memulai kuliah, dia meminta perhatian dari kelas saat membacakan 'paper' saya. Ia mulai membaca, para siswa pun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya pembawaan sang dosen, para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang di dekat saya di antaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.

Di akhir pembacaan tersebut, sang dosen sengaja menutup cerita dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis di akhir paper.
"Tersenyumlah dengan 'HATImu' dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."

Dengan cara-Nya sendiri, Allah telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan satu pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah mana pun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA SYARAT".

Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembaca, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini semoga dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!

Jika Anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati, teruskan cerita ini kepada orang-orang terdekat. Di sini ada 'malaikat' yang akan menyertai Anda agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apa pun) bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya!

Orang bijak mengatakan, "Banyak orang yang datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya 'sahabat yang bijak', yang akan meninggalkan JEJAK di dalam hatimu."

Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu, sedangkan untuk berinteraksi dengan orang lain gunakan hatimu.

Semangat mengisi akhir Ramadan dengan perenungan dan persiapan untuk kesempatan dan kebaikan yang akan datang

No comments:

Post a Comment