Transkrip Pengajian Alm.KH.Suprapto Ibnu Juraimi, 3 Makna Ber-Muhammadiyah
Mengenang
K.H. S Ibnu Juraemi. Allahumma, inna ustadzuna Suprapto Ibnu Juraimi,
fi dzimmatika wa habli jiwarika, faqihi fitnatal qabri wa-adzabannar, wa
anta ahlul wafa-i wal haq, faghfirlahu warhamhu, innaka antal ghafurur
rahim.
Dua
pertanyaan Kyai Ahmad Dahlan; Muhammadiyah Urung Menjadi Partai Politik
Tahun 1921, ada Sidang Hoofdbestuur Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). Di
situ para assabiqunal awwalun Muhammadiyah berkumpul, para pendiri dan
generasi pertama pimpinan dan aktivis Muhammadiyah. Yang menarik, dalam
pertemuan itu ada tokoh yang tidak pernah kita kenal sebagai orang atau
aktivis Muhammadiyah. Yang menarik adalah beliau bisa tampil meyakinkan
dalam forum para pembesar, pimpinan Muhammadiyah generasi pertama
berkumpul. Orang itu adalah Haji Agus Salim.
Haji
Agus Salim punya gagasan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai
politik. Kalau pada masa Orde Baru Muhammadiyah disebut orsospol, dan
beberapa pimpinan Muhammadiyah menjadi anggota Dewan. Ternyata,
menjelang akhir hayat Kiyai Haji Ahmad Dahlan, sudah muncul juga
“ambisi” menjadikan Muhammadiyah sebagai parpol. Sidang dipimpin oleh
Kiyai Ahmad Dahlan. Diketahui, Haji Agus Salim adalah seorang jurnalis,
politisi dan diplomat yang hebat. Tidak ada yang bisa mengalahkannya
dalam berdebat. Dalam sidang Hoofdbestuur, argumentasi yang disampaikan
Haji Agus Salim membuat seluruh yang hadir terpukau, terkesima dan
setuju untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kyai
Dahlan, karena menjadi pimpinan sidang, tidak berpendapat. Setelah Kyai
Dahlan melihat bahwa nampaknya yang hadir sepakat dengan gagasan Haji
Agus Salim, Kyai Haji Ahmad Dahlan yang memimpin sidang dengan duduk,
lalu berdiri sambil memukul meja. Saya tidak sempat bertanya kepada guru
saya, Kiyai Hadjid, apakah Kyai Dahlan memukul mejanya keras apa tidak.
Kyai
Ahmad Dahlan mengajukan dua pertanyaan yang sangat sederhana dan sangat
mudah. Dan kalau dijawab, sebenarnya juga gampang. Pertama, apa
saudara-saudara tahu betul apa agama Islam itu? Kedua, apa saudara
berani beragama Islam? Tidak ada satu pun dari yang hadir yang sanggup
menjawab pertanyaan itu, termasuk Haji Agus Salim sendiri. Bukannya
tidak bisa, sebab mana mungkin ditanya soal Islam begitu saja tidak
tahu. Tapi, ketika ditanya “Beranikah kamu beragama Islam?”. Mereka tahu
persis yang ditanyakan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu. Pak Hadjid muda,
bercerita kepada saya, “Bukan main tulusnya pertanyaan Kiyai Haji Ahmad
Dahlan itu”. Sebenarnya pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ada yang
sanggup menjawab. Akhirnya gagasan Haji Agus Salim tidak kesampaian.
Muhammadiyah urung jadi partai politik.
Dua
pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu, sekarang baru terjawab satu.
Yaitu pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978.
Jawaban itu berupa keputusan tentang Ideologi Islam, Pokok-Pokok Pikiran
tentang Dienul Islam, yang konsepnya dari Bapak H.Djindar Tamimy. Jadi,
setelah kira-kira 56 tahun baru terjawab satu pertanyaan. Sedangkan
pertanyaan yang kedua, sampai sekarang ini belum ada yang berani
menjawab. Tahun 1960, kebetulan saya masih sering mendengar, ada
ungkapan Kyai Dahlan yang menarik, “Durung Islam temenan, nek durung
wani mbeset kuliti dewe” (Belum Islam sungguh-sungguh, kalau belum
berani mengelupas kulitnya sendiri).
Yang
akan saya ungkap di sini, kaitannya dengan pertanyaan Kiyai Haji Ahmad
Dahlan tadi, apa Islam itu, bisa dibuka pada Pelajaran Kiyai Haji Ahmad
Dahlan. Bagi KHR Hadjid, Kyai Dahlan dalam mengungkap ayat itu menarik
sekali. Ayat yang diungkap adalah ayat yang sudah populer. Bahkan
menjadi bacaan harian mereka yang membaca doa iftitah shalat menggunakan
hadis riwayat Imam Muslim (Wajjahtu wajhiya….).Buku itu mengungkap dan
mengajarkan bagaimana Islam itu. Ternyata, setelah sekian tahun
bermuhammadiyah Kyai Dahlan baru sanggup mengaplikasikan dan merealisir
ajaran Alquran tidak lebih dari 50 ayat. Dua ayat diantaranya ada dalam
surat Al An’am. Qul inna shalati wa-nusuqi wa mahyaaya, wa mamaati
lillaahi rabbil alamin. Laa syarikalah wa bidzalika umirtu.
Dalam
salah satu kitab tafsir diungkap bahwa ayat ini diucapkan oleh Nabi
Ibrahim AS. Kata-kata dalam ayat Alquran yang menyebut
aslama-yuslimu-aslim, muncul dari Nabi Ibrahim AS. Jadi, awwalul
muslimin itu Ibrahim, sedang wa ana minal muslimin itu Rasulullah Saw.
Maka di dalam doa Iftitah yang diucapkan dalam bacaan shalat tadi boleh
dipilih antara awwalul muslimin atau wa ana minal muslimin. Qul,
katakanlah (Muhammad), inna shalati, sungguh shalatku; wa nusuqi, dan
pengorbananku; wa mahyaya, dan kiprah hidupku; wa mamati, dan tujuan
matiku; lillah, hanya untuk dan karena Allah; raabil alamin, pengatur
alam semesta. Laa syariikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya; wa bidzaalika
umirtu, dan dengan itu aku diperintah; wa ana awwalul muslimin, dan aku
orang yang pertama, pasrah, setia tunduk kepada Allah Subhanahu wataala.
Amin ya rabbal alamin. Itu makna yang populer, kecuali kata nusuq yang
saya terjemahkan menjadi pengorbananku. Pada hampir semua terje-mahan,
nusuq diartikan ibadah. Mengenai tafsirnya, kebetulan tidak sempat saya
catat tapi saya punya kitabnya, nusuq bukan berarti ibadah. Yang berarti
ibadah adalah nasaqun. Nusuq artinya menyembelih kurban. Maka saya
artikan, nusuqi adalah pengorbananku. Jadi, “shalatku, pengorbananku,
hidup matiku, lillahi rabbil alamin”.
Kyai
Bakir Sholeh, seorang ulama besar Jogja yang dikenal sebagai kamus
berjalan, memaknai dengan liman kana yarju…… “Sungguh, shalatku,
pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah”. Dalam terjemah
Miftah Farid masih kelihatan biasa. Tetapi untuk terjemahan ini orang
bisa tertegun, “Hanya karena untuk Allah rabbil alamin.” Laa syarikalah,
tidak ada sekutu bagi-Nya. Pengertian ini oleh Kyai R.H. Hadjid, yang
telah mendengar pelajarannya langsung dari Kiyai Dahlan dengan
terjemahan tafsir “itu tidak untuk selain Allah”. Karena syarikat
bermakna sekutu. Sekutu itu apa saja bisa dianggap sekutu. Lalu ayat
tadi bermakna apa? “Shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku hanya
untuk Allah pengatur alam semesta”. Laa syarikalah, tidak ada sekutu
selain Allah. “Aku diperintah untuk hidup dengan model cara yang seperti
itu. Tidak untuk maksud-maksud yang lain. Tidak untuk anak istriku.
Tidak untuk orang tuaku, juga tidak untuk bangsa dan tanah airku”. Tanah
dan air itu kalau jadi satu namanya blethokan. Hidupku tidak untuk itu.
Pertanyaannya, lalu untuk apa? “Bela hakmu, perjuangkan hakmu. Membela
tanah air adalah sabilillah. Membela tanah air bukan karena kemauan
tanah air, tetapi karena Allah”. Di sini lalu maknanya, “berbuat baiklah
kamu kepada orang tuamu”. Bedanya dengan ihsan, tidak sekedar karena
naluri, atau karena punya naluri berbakti kepada orang tua, tetapi
begitu lengkap. Sebab itu karena perintah Allah, dari kata “wa-ahsinuu,
…..birrul walidaini”. Jadi jelas sekarang ini. Lalu ditutup dengan “wa
ana awwalul muslimin. Oo.., ini to karepe (maksudnya) Islam itu. Islam,
maksudnya, mendidik kita untuk hidup model seperti itu. Tidak pakai
tiru-tiru model yang lain.
Dalam
setiap langkah selalu berusaha dan berkarya, tidak bisa yangnamanya
hidup kecuali semuanya dalam bentuk kepasrahan, niat yang tulus berbakti
kepada Allah, apapun yang dilakukan. Sebagaimana ayat yang populer,
wamaa khalaqtul jinna wal-insaan illa liya’buduun. Manusia ini hidup
diciptakan oleh Allah, tidak lain, (satu kalimat yang dimulai dengan
nafi, yang di belakang ada illa itu, merupakan satu doktrin kepastian)
hidup ini hanya untuk beribadah, tidak lain. Maka, semua aktivitas hidup
kita harus punya nilai dan nafas ibadah. Di situlah makna hakekat dari
Islam.
Dari
ayat ini, beliau yang memang orang alim dan orang-orang generasi
pertama, bisa menangkap pertanyaan ini, walaupun tidak sanggup menjawab.
Maaf, jika orang sudah bicara politik, hampir bisa dipastikan yang
dicari hanyalah kursi. Dulu, ketika sama-sama jadi mubaligh, sama-sama
aktif, masih bisa. Tapi, ketika sudah sampai pada soal kampanye, jangan
tanya. Disitulah letak bahayanya politik kalau tidak disinari oleh
Islam. Sehingga, rasa-rasanya, kita ini sepertinya tidak punya panutan,
siapa politikus kita yang bisa membawa amanah Islam. Rasanya jauh sekali
dengan para pendahulu kita. Seperti Pak Muhammad Natsir, yang kalau mau
sidang ke DPR hanya naik becak, tidak mau dijemput mobil.
Pertama, Bermuhammadiyah adalah berislam.
Ungkapan
ini memang cukup tandas.Masyarakat/umat Islam ketika itu di dalam
berislam sudah bukan main trampilnya. Seperti diungkap dalam sabda Nabi
yang bernilai ramalan itu, “Akan datang kepada kamu sekalian, suatu
jaman dimana Alquran tidak kekal lagi, Islam tidak tegak lagi kecuali
hanya nama. Memang banyak orang mengaku dirinya muslim, tapi perilaku
dan tindakannya jauh sekali dari Islam. Masjid-masjidnya makmur, banyak
jamaah, tapi sepi dari kebaikan. Orang-orang yang paling dalam ilmu
agamanya menjadi orang yang paling jahat di kolong langit. Dari mereka
keluar fitnah”. Tetapi fitnah itu kembali kepada orang-orang tadi. Jika
hal ini disebut oleh Rasulullah, ini yang jelas terjadinya sepeninggal
Rasululah.
Rupanya,
hampir 100 tahun yang lalu, fenomena ini terjadi, yakni di jaman
sekitar hidup Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagaimana Alquran yang punya
bobot yang luar biasa, kekuatan dahsyat, lau anzalna haadzal qur’ana ala
jabalin………min khasyatillah (Seandainya kami turunkan Alquran kepada
gunung, kamu akan tahu Muhammad, gunung itu akan menolak, tunduk, hancur
lumat karena takutnya kepada Allah. Itulah kekuatan dahsyat dari
Alquran), tapi tidak diamalkan lagi.
Sekarang
ini, berapa juta kali Alquran dibaca setiap hari. Ratusan karya tafsir
yang menjelaskan dari kata maupun kalimat untuk menjelaskan ayat-ayat
Alquran, berapa pula diangkat di dalam seminar, simposium, diskusi,
namun tetap juga sulit untuk mendapatkan pembaca Alquran itu yang
meneteskan air mata. Sudah susah kita menemui orang sesenggukan membaca
Alquran. Dan amat sukar kita dapati orang yang terisak-isak karena
mendengarkan peringatan ayat-ayat Alquran.
Tidak
ada orang yang tersungkur karena mendengar ayat-ayat Alquran, kecuali
tersungkurnya karena sujud tilawah itu saja. Masih mending, kita masih
mau setia mengikuti sunnah Nabi. Setiap Jum’at Shubuh, Nabi selalu
membaca surat As-Sajdah di rakaat pertama, dan surat Al-Insan di rakaat
kedua. Yang seperti ini sekarang di Jogja hampir tidak ada. Kita perlu
mengelus dada (prihatin) melihat hal ini. Dibaca saja tidak apalagi
diamalkan.
Begitu
pula, Islam hanya tinggal namanya. Secara minoritas, orang Indonesia,
khususnya orang Jawa, Islamnya cuma dalam tiga hal. Berislam ketika
tetak (khitan), ketika menikah, dan saat prosesi kematiannya. Kalau
sudah ditetaki (dikhitan) sudah marem. Anakku wis diislami (anakku sudah
diislami), begitu batinnya. Kemudian kalau mau menikah, mereka sudah
mantap mengundang Pak Naib. Dan ketika meninggal mengundang ahli tahlil.
Dengan ketiga hal itu, sudah dianggap lengkap Islamnya.
Anehnya,
diantara orang-orang yang beragamanya hanya tiga kali seumur hidup itu,
malah ada yang diangkat menjadi amirul haj Indonesia. Ini
sungguh-sungguh pernah terjadi. Tidak hanya cara berislamnya yang
merusak tatanan Islam yang sebenarnya, bahkan dia juga termasuk perusak
dan pemecah belah ummat Islam. Sampai seperti ini yang terjadi di
Indonesia yang memang, katakanlah, sedikit atau banyak bersifat
gado-gado. Ketika belum ada agama yang masuk, orang Indonesia masih
primitif, membakar kemenyan menjadi kebiasaan. Ketika datang ajaran
Hindu, diterima. Lalu ketika datang ajaran Budha, juga diterima, datang
Islam juga diterima, dan terakhir, Kristen juga diterima. Semuanya
bergabung menjadi satu, Pancasila.
Inilah
yang kita lihat di sekitar kita, wajah keberagamaan umat Islam. Masih
lumayan, masih ada sekelompok (besar) orang, yang beranggapan kalau
sudah berhaji itu sudah lengkap Islamnya. Hal ini bisa dilihat kalau,
misalnya, ada satu orang berangkat haji, rombongan bis yang mengantar
bisa sampai tujuh buah, disebabkan oleh penghormatan kepada orang yang
mau berangkat haji yang demikian besarnya. Bahkan ketika mengantar
sampai di Bandara pun menangisnya bisa sampai sesenggukan.
Memang
bagus dan elok bisa pergi berhaji. Tapi dengan beribadah haji itu belum
tuntas kewajibannya sebagai muslim. Sebenarnya ibadah haji masih dalam
tataran pondasi. Buniyal islamu ala khomsin…. Islam itu dibangun di atas
lima perkara, yang kita kenal dengan rukun Islam. Lima perkara itu
adalah syahadat, shalat, puasa, zakat, dan berhaji, itu baru pondasi.
Untuk membangun Keluarga Sakinah memang harus lima perkara itu dulu yang
ditata. Sebab, ada orang yang berhaji berkali-kali, tapi ternyata
keluarganya tidak juga kunjung menjadi keluarga sakinah.
Nah,
ini merupakan catatan penting untuk dakwah Muhammadiyah, bagaimana umat
ini dikenalkan dengan berislam yang sebenarnya. Saya tidak menyinggung
lebih jauh lagi apa kemudian pedomannya, pelatihannya, dan sebagainya,
bukan sekarang saatnya untuk mengungkap masalah ini. Kita
bermuhammadiyah yang paling mendasar adalah berislam. Itulah yang
dituntutkan kepada kita. Bagaimana kita punya sikap hidup setia dan
pasrah dengan tatanan aturan hidup Islam. Termasuk yang dulu juga pernah
diungkap Kyai Haji Ahmad Dahlan, saya kurang tahu persis kalimat itu,
hanya mendengar sepintas, “Hidup sepanjang kemauan Islam”.
Inilah
semangat muhammadiyyin tempo dulu, bagaimana hidup ini dijalani menurut
kemauan Islam. Bukan menurut kemauan adat, bukan pula menurut kemauan
nenek moyang ataupun tradisi, tapi menurut kemauan Islam. Ini yang
menjadi semboyan para pendahulu kita. Saya hanya sempat mendengar-dengar
pada awal tahun 1960. Inilah makna pertama dari bermuhammadiyah itu.
Para
pimpinan dan aktivis Muhammadiyah dituntut untuk tahu dan faham apa
makna berislam itu. Tahu dan faham, tidak boleh hanya tahu saja. Doa
yang dituntunkan dari Alquran, Rabbi zidni ilma war zuqni fahma.
Pertama, tentang ilmunya sendiri, kuncinya memang harus tahu. Tapi, tahu
saja belum bisa melaksanakan, sehingga diikuti dengan yang kedua,
warzuqni fahma, memohon diberikan kefahaman. Dengan faham itu baru ada
jalan untuk meraih kebaikan, sebagaimana sabda Nabi man yurudillahu
khairan yufaqqihhu fiddin, siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka
orang tadi difahamkan agamanya oleh Allah.
Soal
tahu ini, dengan hanya sekali mendengar saja orang sudah bisa tahu.
Sekali mendengar ceramah sudah bisa tahu. Tetapi untuk bisa faham, tidak
cukup dengan sekali mendengar. Maka, Nabi mesti mengulang sesuatu
sampai tiga kali. Hal ini kita dapati pada kitab Riyadush-shalihin.
Setiap kali men-datangi suatu kaum Rasulullah mengucapkan salam sampai
tiga kali. Sementara, banyak di anatara kita yang malas mengucap salam
diulang sampai tiga kali. Malahan mungkin kuatir disebut sebagai orang
NU, karena biasanya orang NU itu yang mengamalkan hal ini.
Kedua, Bermuhammadiyah adalah Berdakwah
Sedikit
mengenang orang-orang tua kita, mengenang bagaimana semangat mereka
dalam “wa-tawashau bil haq”. Ada sebutan yang cukup populer pada waktu
itu, yaitu mubaligh cleleng. Cleleng adalah sebutan untuk jangkrik, yang
kalau diberi makan daun kecubung ngengkriknya berkurang, tapi kalau
diadu walaupun kakinya sudah patah dua-duanya nggak mau mengalah, kalau
perlu sampai mati. Nah, mubaligh yang seperti itu disebut mubaligh
cleleng.
Termasuk
salah satu yang disebut sebagai mubaligh cleleng ini adalah Prof. Abdul
Kahar Muzakkir. Ceritanya, beliau ini jarang ketemu dengan
mahasiswanya. Ketika suatu kali mahasiswa menemui beliau dengan mengucap
salam, “Selamat pagi, Pak!”. Beliau bertanya, “Kamu siapa?” “Saya
mahasiswa Bapak”, katanya. “Kembali sana, ucapkan dulu
“Assalamu’alaikum”. Suatu kali ada orang bertamu ke rumah beliau.
Mengucap salam dengan “kulonuwun“. Berkali-kali diucapkannya salam itu,
tidak dijawab, padahal beliau ada di rumah dan tahu kalau ada tamu.
Karena berkali-kali salam tidak dibukakan pintu, tamu itu akhirnya
bermaksud pergi. Sebelum sampai orang itu pergi, pintu dibuka oleh Prof.
Kahar Muzakkir sambil berkata, “Kibir kamu ya?” “Kenapa?” tanya orang
itu. Al-kibru umsibunnas wa jawahul–haq. Kibir itu meremehkan orang
Islam dan tidak mau memakai aturan Islam. Sudah jelas ada tuntunannya
mengucap salam “Assalamu’alaikum” kalau bertamu ke rumah orang koq malah
“kulonuwun”. Inilah contohnya mubaligh cleleng.
Menjadi
anggota Muhammadiyah itu tidak sekedar hanya menjadi anggota saja.
Kalau anda pernah tinggal di sekitar kampung Suronatan, dan kalau masih
ingat, ada yang namanya Haji Khamdani. Saya masih sempat kenal orangnya,
ketua Cabang Muhammadiyah Ngampilan. Pekerjaannya tukang kayu. Beliau
termasuk orang yang telah mendapatkan sentuhan-sentuhan dari Kyai Ahmah
Dahlan. Padahal, Pak Khamdani ini tidak termasuk orang terpelajar.
Sekolahnya paling hanya sampai sekolah Ongko Loro. Beliau juga tidak
termasuk orang kaya. Tetapi karena terkena sentuhan Kyai Ahmad Dahlan,
merasa mau bertabligh nggak bisa, mau berdakwah pakai uang juga nggak
ada uangnya, lalu beliau mengumpulkan tukang kayu, menyumbang untuk
Muhammadiyah lewat keahliannya sebagai tukang kayu ketika sedang
dibangun SR Muhammadiyah I (sekarang SD Muhammadiyah Suronatan). Ini
adalah SD Muhammadiyah yang didirikan Kyai Haji Ahmad Dahlan berkat
orang-orang yang punya ghiroh, diantaranya mujahid kayu tersebut. Jadi,
apa yang bisa disumbangkan kepada Muhammadiyah, disumbangkannya sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Yang bisa bertabligh dengan kemampuan
bertablighnya. Sampai-sampai, walaupun ilmu agamanya masih minim, ada
mubaligh yang membaca saja pating pletot. Rabbil ’alamin dibaca rabbil
ngalamin. Bismillah dibaca semillah. Laa haula walaa quwwata illa billah
dibaca walawalabila, nekat untuk bertabligh.
Itulah,
karena sentuhan dakwah Kyai Haji Ahmad Dahlan, walaupun cara membacanya
belum fasih, tapi berani bertabligh. Mubaligh yang demikian ini
sekarang ini memang sering dicibir oleh orang-orang NU. Membaca Quran
saja nggak bisa koq berani bertabligh. Oleh Kyai pasti dijawab, “Dari
pada kamu, bisa baca Quran tapi nggak berani bertabligh. Inilah wajah
Muhammadiyah yang kedua, yaitu bermuhammadiyah itu adalah bertabligh.
Sejarah
mengakui bagaimana penampilan anggun dakwah Muhammadiyah. Dosennya Pak
Amien Rais di Fisipol UGM, Pak Usman Tampubolon, orang Batak, beliau
aktif di Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), tinggal diJogjakarta.
Disertasinya tentang adat Jawa. Beliau mengorek tentang adat Jawa yang
hal itu bisa sangat menyinggung orang-orang Jawa. Promotornya tidak mau,
mengembalikannya dan menyuruh Pak Usman Tampubolon untuk merubahnya.
Pak Usman tidak mau merubah, “Wong saya sendiri yang menyusun koq
disuruh merubah”, kata Pak Usman. Pak Usman berkomentar tentang Kyai
Haji Ahmad Dahlan. Aneh, katanya, dalam sejarah, ketika bangkit gerakan
modern di Timur Tengah, dengan tampilnya Syeh Muhammad Abdul Wahab, yang
karya paling terkenalnya kitab tauhid, “Al Ushulust-tsalasah”,30)
ketika ajarannya diambil, mesti ada perang dan darah yang mengalir.
Kuburan-kuburan di tanah Arab yang sudah begitu rupa, oleh Syeh Abdul
Wahab diratakan. Maka, yang namanya Syeh Abdul Wahab ini, di Indonesia
juga sangat ditakuti. Tentu kita juga ingat perjuangan Imam Bonjol
dengan perang Paderinya.
Ternyata
Kyai Haji Ahmad Dahlan yang lahir di Kauman, dan bahkan menjadi pegawai
Keraton, koq bisa tenang, rukun dan asyik duduk bersama orang Kraton
yang masih mempercayai nenek moyang dengan agama jahiliyahnya. Tidak ada
sruduk-srudukan di antara mereka. Hal ini membuat Pak Usman Tampubolon
heran. Sosiologi apa yang dimiliki Kyai Haji Ahmad Dahlan. Seandainya
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir dan mendirikan Muhammadiyah di Sumatera
Barat, maka Muhammadiyah hanya ada di sana. Keadaan ini menarik.
Fenomena apa ini, koq Kyai Haji Ahmad Dahlan tenang–tenang saja, mengapa
tidak terjadi benturan.
Pada
sisi lain, kita juga menyadari adanya kepercayaan tradisi yang masih
melekat di kalangan aktifis Muhammadiyah, terutama soal kematian. Memang
Muhammadiyah telah membersihkan hal-hal bid’ah. Tetapi nampaknya
masalah ini sekarang mulai bermunculan lagi. Dihidupkan lagi tradisi
lama. Apalagi Sidang Tanwir di Bali yang lalu membicarakan topik Dakwah
Kultural. Orang belum tahu persis koq sudah melangkah lebih lanjut.
Jujur saja, dan harus kita akui, bahwa Muhammadiyah yang tadinya cukup
anggun, dengan jasa besarnya yang telah ikut mencerdaskan bangsa ini,
selama lebih kurang 93 tahun berdakwah, ternyata belum dan tidak sanggup
menggoyang kekuatan Nyai Roro Kidul. 93 tahun bukan waktu yang singkat.
Ini
merupakan masalah yang serius, sebab kekuatan kaum itu sedemikian
besarnya. Mereka punya seragam khusus dan punya pos-pos ribuan
banyaknya. Yang kita kaget ketika Pemilu tahun 1999 kemarin, kekuatan
mereka seperti itu. Itulah barangkali yang melatar-belakangi Sidang
Tanwir membicarakan masalah dakwah kultural. Hampir-hampir Muhammadiyah
tidak menyadari tentang adanya budaya-budaya itu. Masalah bagai-mana
menari yang Islami, Muhammadiyah tidak bisa menjawab. Kalau saya ada
jawaban lain kenapa perlu ada dakwah kultural. Saya lebih cenderung
memakai alat yang lain. Apa Kyai Ahmad Dahlan waktu itu memakai dakwah
kultural? Tidak. Yang memakai itu kan Walisongo, Sunan Kalijogo. Lalu,
apa rahasianya Kyai Ahmad Dahlan?
Satu
keunggulan Muhammadiyah yang tidak dimiliki oleh yang lain, adalah
adanya karya amal Muhammadiyah. Kyai Haji Ahmad Dahlan sanggup
menampilkan Islam yang bisa dilihat dan dinilai bermanfaat oleh ummat.
Tidak tanggung-tanggung, Muhammadiyah telah melahirkan dua presiden,
terlepas dari presidennya itu seperti apa. Bung Karno dan Soeharto
adalah anak didik Muhammadiyah. Inilah jasa besar Muhammadiyah di bidang
pendidikan.
Ketika
berada di Boyolali dalam tugas Rihlah Dakwah, di sebuah panti asuhan
yang gedungnya berlantai dua, sangat megah, saya diberitahu bahwa yang
membangun gedung itu adalah seorang pensiunan dari Jakarta. Ia datang ke
Boyolali mencari-cari orang Muhammadiyah. Ia mengakui dulunya lulusan
SMP Muhammadiyah Nogosari Boyolali. Setelah lama menjadi pegawai di
Jakarta kemudian ia ingat kembali Muhammadiyah. Sementara,
kadang-kadang, kita kalau sudah jadi pegawai tidak kober lagi mikir
Muhammadiyah, karena sibuk mikirin duit terus. Apalagi kita ini termasuk
sebagai pewaris falsafah “sendu” (seneng duit), merasa senang dengan
hal itu. Harus secara jujur kita akui bahwa kita memang senang terhadap
duit. Nah, pensiunan dari Jakarta tadi punya tabungan dan ingin
menyumbangkannya kepada Muhammadiyah. Semua tukang yang bekerja
membangun panti itu ia yang bayar. Inilah salah satu contoh bagaimana
pengaruh pendidikan Muhammadiyah.
Kita
juga bisa merasakan bagaimana sentuhan-sentuhan darah kita yang memang
belum bisa dicerna dan baru sedikit sekali. Kalau kita lihat ke
sekretariat PP Muham-madiyah, anggota Muhammadiyah sekarang sudah
mencapai jumlah deretan 6 angka, tapi angka pertama baru 8. Artinya,
belum ada 1 juta orang, itu pun masih dikurangi lagi dengan yang sudah
meninggal. Inilah wajah Muhammadiyah yang kedua, wajah dari Muhammadiyah
sebagai Gerakan Dakwah yang perlu dibenahi.
Ketiga, Bermuhammadiyah adalah Berorganisasi
Pemahaman
KHA. Dahlan terhadap Alquran surat Ali Imran ayat 104 telah melahirkan
pergerakan Muhammadiyah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana ulama
pendahulu kita itu bisa menangkap isyarat-isyarat Alquran, sehingga
memilih organisasi sebagai alat dakwah. Sebab, sebelum itu, organisasi
yang ada sifatnya masih sederhana. SDI atau SI yang muncul sebelumnya
karena kebutuhan yang mendesak. SDI muncul untuk mengim-bangi
perdagangan Cina. Sedang kelahiran SI tidak lepas dari pengaruh politik.
Kita tahu, di dunia politik ada dua rayuan, rayuan surga dan rayuan
kursi. Sedang, di Majelis Tabligh yang ada cuma surga saja yang menjadi
harapannya.
Berorganisasi,
oleh beliau-beliau ini, walaupun saat itu belum ada Majelis Tabligh,
tapi di benak para pemimpin kita itu sudah jauh sekali yang dijangkau
untuk nanti bagaimana rencana ke depannya. Mengapa begitu yakin? Sebab
tidak mungkin tegaknya Islam, izzul Islam wal muslimin, itu ditangani
oleh orang per-orang. Saya tidak tahu persis, penduduk Indonesia saat
itu berapa jumlahnya. Saya hanya ingat ada sekitar 77 jutaan penduduk
Indonesia di tahun 1960-an. Jadi, pada jaman Kyai Dahlan itu kira-kira
ada 30 jutaan penduduk Indonesia, pada saat lahirnya Muhammadiyah.
Yang
dihadapi Rasulullah pada jaman beliau, menurut Pak AR, hanya sekitar
700 ribu. Perkiraan ini didasarkan pada perhitungan bahwa saat Haji
Wada’ jumlah jama’ah yang hadir ada 140 ribu. Jika setiap orang punya
lima anggota keluarga, maka jumlahnya sekitar 700 ribu. Dibulatkan lagi,
misalnya, menjadi 1 juta. Ummat yang sekitar 700 ribu sampai 1 juta itu
bisa ditangani karena ada figur Nabi Muhammad SAW, ada Abu Bakar, ada
Umar bin Khattab, dan lain-lainya. Dan yang kita kenal lainnya, ada
sepuluh sahabat Nabi yang dijamin bakal masuk surga sebelum Rasullah
meninggal.
Sekarang
ini, kita kesulitan menentukan orang-orang yang seperti itu. Kalau toh
ada hanya segelintir. Katakanlah, kalau saya membuat contoh tentang
uswah hasanah, jujur saja, siapa orang Jogja yang layak menjadi uswah
hasanah, kita kesulitan mencarinya. Belum lagi di Temanggung, siapa yang
layak menjadi uswatun hasanah. Padahal Muhammadiyah telah berkembang
sedemikian luas. Ini baru dari sisi soal uswah hasanah saja.
Ketika
Kyai Dahlan menyampaikan pengajian di Pekajangan Pekalongan, ada
audien/peserta pengajian itu, yang memper-hatikan betul terhadap Kyai
Dahlan. Rupanya orang ini adalah orang alim dan orang saleh. Ia
memperhatikan secara seksama wajah Kyai Haji Ahmad Dahlan. Diawasinya
ekspresi wajah dan mimik Kyai Haji Ahmad Dahlan. Apalagi Kyai Dahlan
waktu itu mengaku sebagai pimpinan Persyarikatan yang didirikan di
Jogjakarta. Hanya dengan melihat wajah, orang saleh ini bisa menentukan
apakah seseorang itu saleh, jujur, dan sebagainya. Ia tahu hal itu
tentang Kyai Haji Ahmad Dahlan, tapi ia merasa tidak puas dengan hanya
melihat penampilan Kyai Dahlan waktu itu. Ketika Kyai Haji Ahmad Dahlan
pulang ke Jogja orang tadi mengikuti. Sampai di Jogja ia bertanya kepada
orang, di masjid mana Kyai Dahlan sholat. Ia tidak bertanya tentang
apa, tapi cukup bertanya tentang sholatnya Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Setengah jam sebelum adzan shubuh, orang itu sudah datang ke masjid,
maksudnya mau menunggu jam berapa Kyai Haji Ahmad Dahlan datang. Ia
tertegun karena orang yang ditunggunya sudah ada di Masjid itu. Lalu
komentarnya, “Pantas kalau Kyai Haji Ahmad Dahlan mengaku sebagai
pemimpin Muhammadiyah”. Orang itu tidak lain adalah Buya A.R. Sutan
Mansur muda. Beliau adalah saudara dari Sutan Ismail, seorang mubaligh
terkenal di Pekalongan, yang berasal dari negeri Minangkabau.
Lain
lagi cerita tentang Pak AR Fahruddin. Di mata saya beliau adalah orang
yang paling zuhud di Muhammadiyah, satu-satunya ketua PP Muhammadiyah
yang tidak punya rumah sendiri. Tempat tinggalnya di Jalan Cik di Tiro
adalah milik persyarikatan Muhammadiyah. Ketika beliau meninggal,
istrinya kemudian ikut salah seorang anaknya, Sukriyanto AR. Sekarang,
bekas rumah beliau itu telah dipugar dan dibangun gedung berlantai tiga
yang menjadi kantor PP Muhammadiyah Jogjakarta yang baru, yang juga baru
diresmikan pada 1 Muharram yang lalu. Namun bukan ini persoalannya.
Para pengurus PP Muhammadiyah kalau sakit biasanya memang dilayani oleh
Rumah Sakit Muhammadiyah. Seperti RSU PKU di Jogja atau RSI di Jakarta.
Lukman Harun ketika sakit, sebelum meninggal, juga dilayani oleh
Muhammadiyah di RSI Jakarta.
Ketika
Pak AR kebetulan sakit dan mau operasi karena sakit, tidak ada satupun
orang Muhammadiyah yang tahu. Pak AR sendiri juga tidak ingin diberi
fasilitas. Tapi, sebuah kelompok pengajian kecil yang tidak jauh dari
kediaman Pak AR tahu kalau Pak AR sakit dan mau operasi. Mereka tahu
betul bagaimana keadaan Pak AR itu, seorang pensiunan pegawai Penerangan
Agama Jawa Tengah yang gaji pensiunannya hanya 80 ribu, bukan ratusan
ribu. Kelompok pengajian tadi lalu menyebarkan warta, dan terkumpullah
uang sebanyak 600 ribu yang kemudian diserahkan kepada keluarga Pak AR
untuk biaya berobat. Namun, setelah Pak AR sembuh, pengurus kelompok
pengajian itu diundang Pak AR. Pak AR mengucapkan terima kasih atas
bantuan tersebut, kemudian Pak AR memberikan bingkisan. Supaya puas,
pengurus tadi membuka bingkisan itu. Di dalamnya ada uang 300 ribu.
Pengurus kelompok pengajian itu kaget dan berkata bahwa mereka telah
ihlas. Pak AR menjelaskan bahwa operasinya hanya menghabiskan biaya 300
ribu, maka sisanya dikembalikan.
Coba,
apa ada sekarang orang yang seperti Pak AR itu. Yang ada malah
sebaliknya, ada mubaligh yang sampai menawar harga untuk sekali
ceramahnya. Saya pernah pergi ke Sulawesi, berdampingan dengan seseorang
yang bercerita bahwa ia pernah sekali mengundang penceramah dari
Jakarta. Amplopnya mesti 6 juta, belum termasuk tiket pesawatnya, dan
ini harga mati. Begitulah. Tapi, kalau kita aktif di Muhammadiyah tidak
boleh seperti itu.
Yang
kita garap sekarang ini adalah ummat yang jumlahnya lebih dari 200
juta. Jika pada masa Kyai Haji Ahmad Dahlan itu kira-kira ada 30 juta
ummat yang juga sudah memerlukan kekuatan untuk berdakwah, dan kekuatan
itu berupa organisasi, maka sehebat-hebatnya Zainuddin MZ, yang dikenal
sebagai da’i sejuta ummat, beliau tidak sanggup membangun ummat. Di
Jogja juga ada mubaligh terkenal. Tapi, paling-paling beliau juga cuma
bisa dikenal. Tidak akan bisa membangun ummat, karena untuk membangun
ummat diperlukan kekuatan massa, dan kita harus mau serius.
Saya
cukup tajam untuk menggugat tentang masalah pendidikan Muhammadiyah di
sini. Saya buat global saja, baik UMS, UMM, UMY, UHAMKA dan sekitar 130
PTM, ditambah puluhan ribu sekolah Muham-madiyah, 90% siswa atau
mahasiswanya adalah bukan putra Muhammadiyah. Termasuk di UMY, ketika
saat itu ada training untuk mahasiswa baru, rata–rata sholatnya memakai
usholli. Memang ada sedikit yang berasal dari IPM/IRM. Gugatan saya,
baik yang di sekolah maupun yang di PTM, kalau mereka masuk di lembaga
pendidikan Muhammadiyah, masuk dengan usholli dan keluar tetap usholli,
maka Muhammadiyah sudah gagal dalam menyelenggarakan pendidikannya.
Sehebat apapun sekolah Muhammadiyah, koq setelah sholat malah yasinan.
Yang lebih ngeri lagi, karena kita tidak memikirkan hal itu, setiap
tahun kita meluluskan sekitar 40 ribu siswa/mahasiswa. Dari sebanyak
itu, berapa yang kemudian menjadi mujahid dakwah?
Saya
pernah berbicara dengan Pak Umar Anggoro Jenie (mantan Ketua Majelis
Diktilitbang PP Muhammadiyah), ketika menjelang Muktamar di Jakarta
tentang hal ini. Siapa di antara alumni perguruan Muhammadiyah itu, yang
tampil menjadi mujahid dakwah, pada hal mereka, kurang lebih lima
tahun, di tangan kita, merah hijaunya para sarjana itu kita yang
membuatnya. Juga yang di sekolah-sekolah Muhammadiyah itu, paling tidak
selama tiga tahun mereka kita didik.
PKI,
waktu itu, tidak punya lembaga pendidikan, tapi mereka mampu melahirkan
kader-kader yang militan. Sedangkan di Muhammadiyah, siapa di antara
kita yang pantas di sebut sebagai kader militan. Ini perlu menjadi PR
kita, bagaimana mengurus Muhammadiyah secara serius. Jangan-jangan di
Muhammadiyah ini malah cuma sekedar mencari penghidupan saja. Apakah
kalimat semboyan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup
di Muhammadiyah” masih relevan? Padahal, waktu itu semboyan ini sangat
terkenal dan biasa ditulis di majalah dan di dinding-dinding gedung amal
usaha Muhammadiyah. Bagaimana kita menjawab pertanyaan ini, dan
bagaimana reaksi kita atas ungkapan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.
Namun,
alhamdulillah, dapat kita perkembangan Muhammadiyah saat ini sudah
sebegitu pesat. Kita mungkin tidak tahu, yang namanya sholat Ied di
lapangan pada waktu itu belum ada di kota Jogjakarta. Sebab saat itu
sholat Ied hanya ada di Masjid Besar Kauman. Oleh Pak Sultan, tidak
boleh shalat Ied di Alun-alun, kalau ingin shalat Ied di lapangan
disuruh cari tempat sendiri, sehingga Muhammadiyah membeli lapangan Asri
di Wirobrajan. Dan sekarang ini sudah menyebar ke mana-mana kalau
sholat Ied itu diseleng-garakan di lapangan, sesuai dengan sunnah Nabi.
Memang ada 9 hadis tentang masalah ini, tapi hanya ada satu hadis yang
menyebut shalat Ied di masjid dan itu pun hadis dhoif. Kalau kita lihat
di masjid-masjid, jika ada garis shaf yang miring tidak sejajar dengan
bangunan masjid (karena menyesuaikan arah kiblat), itu adalah hasil dari
perjuangan Kyai Dahlan. Dulu, untuk memperjuangkan lurusnya arah kiblat
ini, langgar Kyai Dahlan di Kauman dirobohkan oleh tentara Kraton,
karena Kyai Dahlan membetulkan arah kiblat di Masjid Besar Kauman. Itu
adalah salah satu contoh pengorbanan beliau.
Orang
tidak tahu bagaimana jasa-jasa Kyai Haji Ahmad Dahlan. Termasuk dalam
hal qurban yang dilaksanakan di kantor-kantor, sekolahan-sekolahan, dan
lain-lainnya. Semua itu adalah jasa Kyai Ahmad Dahlan. Sekarang, dapat
kita lihat sudah merebak di mana-mana, misalnya di kantor bupati
menyembelih qurban seekor lembu, gubernur juga seekor lembu, dan
sebagainya. Padahal menyembelih qurban di kantor dan sekolahan itu tidak
ada nashnya. Alasanya hanya satu, yaitu latihan. Dan masih banyak lagi
amal usaha Muhammadiyah yang dengan itu orang menjadi tahu Islam yang
sebenarnya, melalui karya-karya Islami Muhammadiyah tersebut. Yang
namanya surat Al-Maun, dulu hanya menjadi hafalan orang saja. Tapi di
benak Kyai Dahlan, jadilah pengamalan dari surah itu, panti-panti
asuhan, rumah sakit-rumah sakit, yang merupakan pemahaman beliau atas
surat Al-Maun.
Di
sinilah keberhasilan dakwah Muhammadiyah dapat dilihat. Tanpa ada
benturan yang berarti ia menjadi diminati oleh ummat. Cuma, sekarang
masalahnya terletak pada diri kita sendiri, karena kita ini sudah
menjadi pewaris amal usaha Kyai Haji Ahmad Dahlan. Pertanyaannya, untuk
apa amal usaha yang telah diwariskan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu. Mau
diapakan, misalnya, anak-anak asuh panti asuhan yang hidup, makan, dan
semuanya dicukupi Muhammadiyah, mau diapakan lagi mereka ini kalau tidak
kita jadikan kader kita.
Keempat
dan Kelima, Bermuhammadiyah adalah Berjuang dan Berjihad serta
Berkorban. Yang keempat, bermuhammadiyah itu berjuang dan berjihad. Yang
kelima, bermuhammadiyah adalah berkorban. Untuk dua hal yang terakhir
ini belum sempat saya angkat. Sebenarnya mau saya sampaikan karena
waktunya belum ada, maka saya minta maaf.
Sumber : http://www.sangpencerah.com/2014/12/transkrip-pengajian-almkhsuprapto-ibnu.html?m=1
No comments:
Post a Comment