Meraih Hikmah dari Tukang Bubur
Oelh: Bangun Lubis
Seperti baiasa, pagi itu sekitar pukul 05.50 saya bersama istri sudah keluar rumah sekadar membeli sarapan. Di sepanjang jalan Celentang, arah Perumnas, Kota Palembang, ada sekitar tujuh pedang makanan yang menyediakan sarapan pagi, seperti bubur, tekwan, kue-kue, mi celor dan nasi uduk.
Pagi itu rasanya ingin sekali makan bubur kacang hijau (ijo) . Biar seger dan lagi pula ingin menukar menu pagi ini dengan makanan yang lain. Sekitar sepuluh menit, si Abang Tukang Bubur, baru sampai ke lokasi dia berjualan yang biasa ditempatinya pada pagi-pagi sebelumnya. Ia melihat saya menunggu, langsung berucap,”maaf pak, agak telat dikit,”ujarnya sembari melempar senyum.
Abang Tukang Bubur memang selalu ramah. Ia sudah lama berjualan di sini. Tapi tidak pernah menanya siapa namanya. Lagi pula tidak lah terlalu perlu untuk mengetahui namanya. Namun orang-orang yang membeli selalu memanggilnya si abang. Ya semacam abang tukang bubur lah.
Baru saja si Abang membuka jualannya di gerobak yang didorongnya dari rumahnya itu, dia melihat ke belakang dan matanya menatap agak sedikit lama kepada seoarang ibu yang usianya sekitaran 50 an. Ibu itu juga hanya melempar senyum kepadanya. Saya memperhatikan si abang dan arah senyumannya.
Ibu itu duduk di emperan toko yang berada di belakang tempat si Abang berjualan yang jaraknya sekitar 4 meter, sembari si ibu melipat karton dan merapikan bekas tempat minuman air mineral yang baru saja dikumpulkannya dari tempat-tempat pembuangan sampah sekitar kawasan celentang.
Semangkok Bubur
Tangannya si Ibu terlihat lincah menyusun barang-barang bekas yang masih utuh atau karton-karton yang dikumpulkannya itu. Sangat rapi sekali menyusun satu demi satu hasil kumpulannya. Saya dan istri ikut memperhatikan si ibu yang begitu tekun melakukan pekerjaannya.
Tak lama kemudian si Abang mendekati si ibu, dan menyerahkan bungkusan plastik. Si ibu senyum, dan senyumnya mendapat balasan dari Tukang Bubur. Saya tersadar seketika, bahwa seorang lelaki yang masih berusia kisaran 30 tahunan sedang memperagakan drama kesalehan sosial. Ia berbagai sarapan bubur kepada Ibu tukang Kumpul Barang Bekas.
Saya memandang istri yang ternyata juga memperhatikan dengan serius drama yang membuat relung jiwa jadi terenyuh itu. Drama itu sangat cepat berlangsung. Sehingga tidak memberikan kesempatan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya untuk memperhatikan lebih lama. Tapi begitulah dua hamba Allah SWT sedang memperagakan drama kehidupan.
Saya tidak dapat berkata-kata saat itu. Hanya bungkam dan melongok melihat peristiwa yang saya anggap demikian merenyuhkan hati itu. Ia mendahulukan si ibu yang duduk sembari melipat barang bekasnya itu, sekalipun dia sempat mengatakan sebenran kepada pelanggannya. Dada rasanya berguncang, dan saya rasakan aliran darah saya begitu kencang. Ada rasa malu yang muncul pagi itu.
Sekalipun dia belum beroleh rezeki, namun terlebih dahulu telah memberikan sebungkus bubur kepada ibu yang terlihat memang membutuhkan sarapan pada pagi yang cukup dingin ini.
Begitu besar perhatiannya kepada si ibu, kendati belum tentu dia memiliki ikatan apa-apa dengannya. Biasa jadi si ibu memang sangat menantikan bubur itu untuk mengganjal perutnya pagi ini sebelum lebih jauh bekerja mengumpulkan barang-barang bekas ke tempat lain.
Memberi dan Ramah
Begitu pun si Abang , dia tidak berpikir akan mendapat imbalan dari kebaikan yang dilakukannya . Dia juga tak berpikir apakah akan merugikan dengan memberikan semangkok bubur kepada si ibu. Barang kali juga dia lupa kalau ada beberapa pembeli yang menunggu giliran. Ia hanya tersenyum dan mengumbarnya kepada setiap orang ada di sekitarnya.
Oh.. si Abang memang tak akan tahu dengan semua itu. Barangkali, yang ada dalam benaknya hanya sebuah perasaan iba, bahwa ada seorang ibu yang pantas untuk diberikan sarapan pagi itu. Itu saja yang mendorong hatinya untuk berbagi semangkok Bubur Kacang Ijo.
Tinggal saya tertegun. Dalam hati berkata; “jika ingin memberi, ya memberi saja, jangan terlalu dilogikakan”. Tukang bubur saja tak membayangkan akan imbalan. Apakah Allah SWT akan melimpahkan imbalan dari ibadah seperti yang dia dipertontonkan, itu hanya ada dalam hatinya. Rezekinya besar atau sedikit bukanlah alasan untuk tidak berbagi. Tukang Bubur juga hanya ingin berbagi. Dan pagi itu dia telah berbagai semangkok Kacang Ijo dan senyum yang sumringah kepada orang di sekitar dia berjualan.
Dalam agama Islam, sedekah tidak saja membuka pintu rezeki, tetapi juga melipatgandakan rezeki yang ada pada kita. “Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir, tumbuh seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah 2:261).
Pada sisi lain Rasulullah SAW bersabda ” Turunkanlah (datangkanlah) rezekimu (dari Allah) dengan mengeluarkan sedekah.” (HR Al-Baihaqi). Lalu dalam hadits Qudsi, Allah berfirman: ” Hai anak Adam, infaklah (nafkahkanlah hartamu), niscaya Aku memberikan nafkah kepadamu. “(HR Muslim). Barang kali juga firman Allah dan Hadist Rasulullah ini telah melekat dibenak Si Abang Tuknag Bubur. Walloho’alam.(*)
No comments:
Post a Comment