KARENA
UKURAN KITA TAK SAMA
"seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi"
Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita
memiliki latar belakang yang berlainan.
Maka tindak utama yang harus
kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau
baju milik tokoh lain lagi.
Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang
berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang
diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara
membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah
diamanahi kekayaan.
Tetapi jangan membebaninya dengan cara
menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu.
Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid
ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.
Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman
yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa
yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu,
punya jawaban yang telak dan lucu.
“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali,
“Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa
kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”
“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar,
rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”
Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada
untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain
berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.
Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu
Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri
kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka.
Tuntutlah diri untuk
berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu
sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.
Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan,
akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan
yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.
Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki
kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan
masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan
sunyi akan membawa damai.
Dalam damai pula keteladannya akan menjadi
ikutan sepanjang masa.
Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang
lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin,
perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”.
Istilah yang tepat adalah
“shawab” dan “khatha”.
Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi
antara satu dengan yang lain.
Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya
membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.
Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini
benar,” ujar beliau, ”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun
pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah
No comments:
Post a Comment